Saya terkesan dengan gaya penulisan Mbak Fara dalam novel ini. Unsur sastranya amat kental. Beberapa diksi yang dipakai juga tidak menampakkan sang penulis ternyata adalah guru, yang biasanya berkutat dengan bahasa-bahasa akademis. Alur ceritanya juga memikat kendati ada prolog yang diulang-ulang. Secara garis besar, novel ini menyisipkan pesan moralitas tanpa berupaya menyembunyikan realitas kehidupan masyarakat modern saat ini.
Jika membaca kisah Reysa tersebut, saya teringat Keyko, germo wahid yang kasusnya tengah hangat diperbincangkan. Sama seperti Reysa, Keyko adalah wanita muda cantik dan berbodi aduhai. Bedanya, Reysa berhasil menata kehidupannya menjadi lebih baik. Sedangkan Keyko saat ini jadi tersangka sebuah kasus di Mapolda Jatim.
Saya betul-betul terkesan dengan cerita tentang Reysa dalam novel Safir Cinta. Mbak Fara berhasil menyajikannya dengan apik. Sungguh, saya tak menyangka ada guru yang juga novelis hebat seperti beliau.
Dalam salah satu kesempatan, saya pernah bertanya kepada pemilik nama asli Istiqomah itu tentang tujuannya menjadi penulis. ”Dengan menulis, saya ingin lebih memahami kehidupan,” jawabnya singkat.
Selepas pertemuan dengannya, saya masih menyimpan kagum. Betapa tidak, menulis novel itu sebenarnya tidak mudah. Bisa dibilang sulit. Penokohan, alur, klimaks, dan ending-nya harus rampak dan kuat. Imajinasi bermain di wilayah ini. Tidak semua orang bisa mengarahkan imajinasinya menjadi tulisan yang mengalir bak kisah dalam kehidupan nyata. Dan Faradina mampu melakukannya. Wow!
Tentunya saya bangga bisa berpartner dengannya menjadi promotor dalam buku Memoar Guru yang bakal terbit tak lama lagi. Tujuan kami sederhana: mengajak para guru untuk mau menulis. Itu saja.
Graha Pena, 24 Sept 2012