Mohon tunggu...
Pranan Saputra
Pranan Saputra Mohon Tunggu... Freelance Graphic Designer -

Passionate with Graphic Design, Photography, and Videography. Wanna be VFX Specialist, then.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Identitas Virtual Sarana Swa-Destruksi

17 Mei 2016   09:38 Diperbarui: 17 Mei 2016   16:23 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Latar Belakang

Semenjak ditemukannya ENIAC, sebutan untuk perangkat kerja komputer sederhana yang memiliki lebih dari 18.000 tabung lampu vacuum pada 1946 oleh sekelompok ilmuwan di Universitas Pensylvania, proses komunikasi berkembang sangat pesat. Media komunikasi mulai banyak bermunculan dan semakin beragam. Proses penyampaian pesan melalui media pun mengalami pergeseran penting. Jika media selama ini merupakan pusat informasi, dan informasi itu diberikan atau dipublikasikan dengan satu arah, kini media menjadi lebih interaktif. Menurut Rogers seperti dikutip Nasrullah dalam Teori dan Riset Media Siber (2014: 2), periode ini disebut sebagai Interactive Communication Era.Media komunikasi mulai bergeser ke arah media siber (cyber media) yang kemudian melahirkan budaya baru, yaitu budaya siber (cyber culture). Cybermedia dan cyberculture berada dalam lingkungan yang dinamakan cyberspace. Pengertian cyberspace menurut Gibson adalah sekumpulan data, representasi grafik demi grafik, dan hanya bisa diakses melalui komputer (Nasrullah, 2014: 18). 

Era media siber sepeerti saat ini ditandai dengan apa yang disebut sebagai konvergensi media di mana media berintegrasi dari tiga aspek, yaitu telekomunikasi, data komunikasi, dan komunikasi massa dalam satu medium (Nasrullah, 2014: 15). Setelah adanya cyber media (media baru), khususnya media sosial, proses komunikasi yang dilakukan semakin mudah dan bervariasi. Cyber media tak hanya mampu digunakan dalam proses komunikasi pada umumnya atau dipahami sebagai medium informasi saja, tetapi juga dipahami sebagai medium penyimpanan, termasuk di dalamnya penyimpanan identitas dalam komunikasi interaktif dua arah. Identitas disimpan dalam sebuah database untuk kemudian ditampilkan melalui teks di dalam sebuah layar sebagai tanda pengenal atau penggambaran ciri-ciri/keadaan khusus mewakili keberadaan seseorang. Keberadaan seseorang masih sebatas representasi dirinya dan belum sampai pada level diri seutuhnya yang berada di dalam media sosial.

Kehadiran media sosial tidak berbayar yang semakin beragam membuat penggunaan media sosial menjadi suatu praktik yang dianggap lumrah. Kegiatan memperbarui status, menulis tweet, mengganti foto profil, menulis di wall, sudah bukan barang baru lagi. Aktivitas semacam ini dapat dikatakan sebagai proses penataan tampilan diri. Ada berbagai jenis penampilan diri yang dapat dilihat secara kasat mata di berbagai profil akun, tulisan di wall, status/post, tweets, penyampaian kondisi dan lokasi saat ini, penulisan kata-kata bijak, dan berbagai cara lainnya. Selain kata-kata, presentasi diri juga dikombinasikan dengan video, audio, atau gambar. Aktivitas semacam ini dirasa memiliki dampak positif, yaitu memberikan kepuasan batin tersendiri bagi setiap pengguna media sosial. Selain itu, identitas virtual juga digunakan sebagai bukti eksistensi diri dan bukti telah melebur dengan masyarakat di dunia maya. Meskipun demikian, presentasi diri di media sosial juga memiliki sisi negatif termasuk efeknya yang perlu dikaji lebih lanjut.

Pembahasan

Identitas diartikan sebagai ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang, sedangkan virtual diartikan (secara) nyata (http://kbbi.web.id/identitas, diakses pada Selasa, 05 April 2016 pukul 20.05 WIB). Dalam dunia nyata, konsep identitas dipahami dengan satu paham bahwa “satu tubuh, satu identitas” (Judith dalam http://christaadhi.blogspot.co.id/2011/03/virtual-identity.html, diakses pada Selasa, 06 April 2016 pukul 19.06 WIB). Identitas tersebut akan terpaku dalam satu tubuh yang akan berkembang dan berubah seiring bertambahnya usia. Dalam dunia virtual, seseorang dalam dunia nyata bisa saja membuat satu, dua, tiga, atau bahkan ribuan identitas virtual sesuai dengan kemauan dan kemampuannya. Dengan kata lain, identitas virtual tidak memiliki tautan yang sifatnya rigid (kaku/tidak dapat berubah) dari waktu ke waktu. Seorang individu bisa saja berpindah dari satu identitas yang sudah dikonstruksi ke identitas lainnya hanya dalam hitungan detik. Selain itu, komponen-komponen identitas dalam dunia nyata misalnya umur, jenis kelamin, ras, tingkat pendidikan, tempat tinggal, dan status perkawinan menjadi sangat bias ketika identitas dikonstruksikan melalui Computer Mediated Communication (CMC). Dapat dikatakan dalam era media baru, identitas menjadi lebih bebas bergerak, berlipat ganda, refleksi diri (swa-refleksi), cenderung berubah, serta dapat direka semikian rupa.

Dilihat dari konteks sosial, individu selayaknya manusia di dunia nyata, merupakan makhluk sosial yang melakukan interaksi sosial dengan berbagi, membangun identitas dan eksistensi diri, serta kredibilitasnya di depan individu lainnya. Ada dua perwujudan yang dilakukan individu, pertama, identitas virtual yang cenderung mencerminkan kesan yang ingin ditampilkan pada suatu waktu kepada individu lain dalam bentuk avatar. Kedua, cara berkomunikasi dengan saling bergantian menuliskan komentar baik verbal maupun non-verbal. Verbal berarti komentar berupa tulisan, sedangkan non-verbal menggunakan gamification, seperti emoticon, simbol like, atau dislike (Maria Ayu Widihapsari dalam  http://www.komunikasi.us/index.php/course/15-komunikasi-teknologi-dan-masyarakat/2678-cyber-space-cyber-culture, diakses pada Senin, 04 April 2016 pukul 22.04 WIB). Dari cara berinteraksi ini, lahir dua proses sosial, yaitu proses sosial disosiatif dan asosiatif di media siber. Proses sosial disosiatif terjadi ketika beberapa individu terlibat dalam proses persaingan atau bahkan konflik seperti social media war. Sedangkan proses asosiatif terjadi kerja sama antar individu yang kemudian akan berlanjut ke proses akomodasi informasi dan asimiliasi kebudayaan dalam skala global ke seluruh jaringan masyarakat yang akhirnya mempengaruhi perilaku dan interaksi antar individu, misalnya bahasa baru, meme, dan sebagainya (Bungin, 2006: 162).

Dilihat dari sudut pandang postmodern, seiring meningkatnya derap perluasan, dan kompleksitas masyarakat modern, identitas menjadi makin dan makin tidak stabil, makin dan makin rapuh. Dalam situasi seperti ini, wacana postmodernitas mempermasalahkan gagasan identitas, menyatakan bahwa identitas hanyalah mitos dan ilusi (Kellner, 2010: 318). Ini juga meningkatkan keterarahan-kepada-yang lain (other directedness), karena seiring meningkatnya kemungkinan identitas, orang harus mendapatkan pengakuan agar identitasnya diakui dan sah secara sosial. Beberapa hal kejadian penting dalam cyber crime yang pernah terjadi berupa pencurian dan penggunaan akun milik orang lain. Sering pula terjadi pelanggaran terhadap hak cipta masyarakat, perlakuan penyerangan dan perusakan jaringan, pencurian, penipuan, problem hak membela diri, eksploitasi perempuan dan penyebaran pornografi dan pornoteks serta erotisme, maupun problem hak dan kebebasan mengakses informasi.

Menurut Erving Goffman seperti dikutip Nasrullah dalam Teori dan Riset Media Siber (2014: 142), bahwa setiap individu pada kenyataannya melakukan konstruksi atas diri mereka dengan cara menampilkan diri (self performance). Namun, penampilan diri ini pada dasarnya dibentuk atau untuk memenuhi keinginan audiensi atau lingkungan sosial, bukan berasal dari diri dan bukan pula diciptakan oleh individu itu sendiri. Inilah yang dalam konsep Goffman mengumpamakan suatu panggung drama di mana ruang pertunjukan itu selalu ada tempat yang disebut ‘front stage’ (panggung depan) dan ‘back stage’ (panggung belakang). Di panggung belakanglah setiap pemain menyembunyikan atau memiliki identitas dirinya yang disebut sebagai ‘personal identityatau identitas personal, sementara yang ditampilkan di atas panggung yakni identitas sosial atau ‘social identity’.

Menurut Shirly Turkle seperti dikutip Nasrullah dalam Teori dan Riset Media Siber (2014: 144) menyatakan bahwa, di ruang siber sangat berbeda dari kenyataan di mana individu akan menemukan dunia baru termasuk identitas, baik yang essensial maupun non-essensial. Bahkan dalam kondisi yang lebih ekstrem, identitas menjadi palsu, tersamarkan dan individu menjadi individu lain di layar komputer. Ini kemudian akan mengarah pada aktivitas cyber crime,yaitu pemalsuan identitas. Terkait dengan identitas, menurut Wood dan Smith seperti dikutip Nasrullah dalam Teori dan Riset Media Siber (2014: 145) menyodorkan tiga tipe identitas dalam dunia siber, yaitu real-life identity, pseudonymity, dan anonymity. Real-Life Identity menunjukkan pada siapa sebenarnya individu itu. Pada pseudonymity, identitas asli mulai kabur dan bahkan menjadi palsu, meskipun dalam beberapa hal ada representasi yang bisa menunjukkan identitas asli seseorang. Terakhir, anonymity atau anonym merupakan bentuk baru identitas yang benar-benar terpisah dan tidak bisa dirujuk kepada siapa identitas itu dimiliki, misalnya seperti kasus identitas binatang peliharaan. Penampilan diri individu di cyber media direpresentasikan melalui teks untuk dipersepsikan oleh individu lainnya. Ini sejalan dengan apa yang ditegaskan oleh Wood dan Smith seperti dikutip Nasrullah dalam Teori dan Riset Media Siber (2014: 147). Bahkan, di internet memberikan fasilitas untuk memungkinkan individu memilih menjadi siapa saja dan bisa berbagai diri atau multiple roles.

Salah satu alasan mengapa individu memilih identitas mereka yang berbeda di internet, karena identitas mereka di dunia nyata tidaklah bisa mendapatkan tempat dalam kehidupan sosial mereka. Ini menjadi kecenderungan sebagai bentuk pelarian diri dari realita yang ada. Pandangan ini dipertegas dengan ungkapan Levin seperti dikutip Yasraf A. Pilliang dalam Posrealitas (2004: 454), bahwa identitas virtual sebagai bentuk representasi diri dan wujud pencitraan dan potret dunia di media siber dipandang sebagai sebuah patologi eksistensial masyarakat masa kini, yang di dalamnya citra dijadikan sebagai sebuah jalan pelarian (escape) dari penderitaan, keputusasaan, dan ketidakberdayaan manusia. Citra pada identitas virtual ditujukan untuk menemukan ruang-ruang eksistensial yang di dalamnya setiap individu beranggapan telah menemukan eksistensi hidupnya, yaitu sebuah pengakuan atau status. Di era cyber media, status dianggap hal yang sangat krusial bagi setiap individu agar diakui secara global oleh masyarakat dunia maya. Beberapa hal yang kemudian dilakukan agar diakui secara global, yaitu ingratiation (agar disukai), competence (agar diakui terampil), intimidation (untuk memperoleh kekuasaan), exemplification (agar diakui bermoral tinggi), dan supplication (agar tampak tidak berdaya) (Jones seperti dikutip oleh Jandy E. Luik dalam Media Sosial dan Presentasi Diri, Universitas Kristen Petra, 2015). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa identitas virtual yang muncul di dunia maya seolah-olah ditujukan hanya untuk memperoleh pengakuan diri atas keberadaan individu dalam dunia maya. Selain itu, media siber digunakan sebagai instrument individu untuk mencari jati diri dan citra makna hidupnya. Ruang dalam dimensi media siber adalah wacana kapitalisme yang mengkonsep penghancuran diri, tradisi, kepercayaan (individu semakin atheis), dan kebudayaan sebagai sebuah konsekuensi yang harus ditanggung oleh segenap individu dalam berteknologi. Identitas virtual berbentuk representasi simulasi, realitas direproduksi, dikonstruksi, dimanipulasi, sehingga melahirkan realitas yang baru. Dalam persoalan ini Baudrillard sebagaimana yang disampaikan Yasraf A. Piliang dalam Posrealitas (2004: 63) menyebutnya sebagai satu bentuk proses penciptaan model-model realitas yang tanpa asal-usul, realitas yang hadir bukan lagi representasi realitas sebenarnya, sudah menjadi realitas yang baru yang referensinya adalah realitasnya sendiri (simulakrum of simulakrum). Simulakra diartikan sebagai; (1) sesuatu yang tampak atau dibuat tampak seperti sesuatu yang lain, (2) salinan (copy).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun