Mohon tunggu...
pramesya
pramesya Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta prodi Tadris Bahasa Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Cara Gen Z Mengekspresikan Diri Melalui Warna dan Estetika

15 Oktober 2025   14:30 Diperbarui: 15 Oktober 2025   14:28 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Di tengah rutinitas yang semakin padat dan dunia yang serba cepat, banyak anak muda mencari cara untuk tetap waras. Ada yang memilih jalan-jalan, ada pula yang menulis, tapi sebagian menemukan ketenangan dalam sesuatu yang tampak sederhana yaitu warna. Bagi Generasi Z, warna bukan lagi sekadar elemen desain atau pilihan mode. Warna adalah cerminan suasana hati, identitas, dan bahkan bentuk komunikasi. Dari kamar yang bernuansa pastel hingga tas berwarna pink lembut, setiap pilihan warna menyimpan cerita tentang bagaimana mereka mengenal diri sendiri dan merawat emosi.

Dunia Lembut di Tengah Hidup yang Keras. Seorang Mahasiswi berusia 20 tahun yang kamarnya dipenuhi barang-barang berwarna pink selimut, botol minum, buku catatan, hingga figura kecil di atas meja belajar. Sekilas terlihat seperti kamar anak remaja, namun bagi saya, ruang itu adalah tempatnya bernafas setelah hari-hari kuliah yang melelahkan. “Aku tahu pink sering dibilang warna anak kecil, tapi bagiku, warna ini bikin hati tenang,” ujarnya sambil tersenyum malu.

Fenomena seperti ini tidak berdiri sendiri. Banyak anak muda di berbagai kota menunjukkan pola yang sama. Mereka mengoleksi benda-benda lucu, menata ruang kerja dengan warna pastel, dan menampilkan gaya lembut di media sosial. Hal-hal ini sering disebut “soft aesthetic” gaya hidup visual yang identik dengan ketenangan, kerapian, dan nuansa manis. Gen Z mengaku warna pastel seperti pink dan biru muda membantu mereka menenangkan diri dan meningkatkan suasana hati.

Warna Sebagai Bahasa Emosi. Warna pink memiliki efek psikologis yang dapat menurunkan stres dan menumbuhkan rasa kasih sayang. Warna ini menstimulasi perasaan nyaman dan memperlambat ritme emosional seseorang yang sedang tegang. Tidak mengherankan jika Gen Z menjadikan warna ini sebagai pelindung emosional. Dalam dunia yang menuntut produktivitas dan keberanian tanpa henti, Gen Z justru mencari ruang untuk kelembutan.

Menyembuhkan “Anak Kecil” di Dalam Diri. Memperkenalkan konsep Inner Child yaitu sisi anak kecil dalam diri manusia yang menyimpan kenangan, kerentanan, dan kebutuhan emosional. Saat seseorang menyukai barang lucu atau warna lembut, sebenarnya ia sedang memeluk sisi dirinya yang dulu pernah terluka atau terabaikan. Jadi, menyukai warna pink di usia dewasa bukan berarti kekanak-kanakan. Justru, itu tanda bahwa seseorang cukup dewasa untuk menerima dirinya secara utuh.

Mengubah Makna Kedewasaan. Sering kali kita menganggap kedewasaan identik dengan keseriusan dan ketegasan. Tapi bagi Gen Z, kedewasaan justru tentang keseimbangan: bagaimana tetap bertanggung jawab tanpa kehilangan sisi lembut diri sendiri. Mereka berani menunjukkan kelembutan dan menemukan ketenangan di dalamnya.

Generasi Z mengajarkan kita satu hal penting bahwa tidak ada yang salah dengan mencintai hal-hal sederhana. Bahwa kelembutan bukan tanda kelemahan, melainkan ruang istirahat di tengah hidup yang sering terlalu keras. Lewat warna dan estetika, mereka membangun dunia yang lebih ramah bagi pikiran dan perasaan.

Bagi sebagian orang, mencintai hal-hal lucu dan lembut mungkin terlihat sepele, bahkan dianggap tidak sesuai dengan usia. Namun, di balik semua itu ada bentuk keberanian yang tidak disadari. Gen Z berani mengakui bahwa mereka lelah. Mereka berani mengaku butuh ruang untuk berhenti sejenak, dan mereka melakukannya dengan cara yang sederhana melalui warna dan estetika yang menenangkan. Barang-barang lucu, aroma wangi, atau dekorasi pink bukan sekadar hiasan; itu adalah simbol self-care, cara mereka menenangkan batin di tengah tuntutan dunia yang semakin berat.

Bagi generasi ini, menjadi kuat bukan berarti harus terlihat tegas atau menekan emosi. Menjadi kuat berarti mampu menerima diri sendiri, termasuk bagian yang rapuh dan lembut. Warna pink, biru muda, atau ungu pastel menjadi semacam pelindung psikologis bentuk nyata dari usaha menjaga keseimbangan antara pikiran dan hati. Ketika tekanan akademik, pekerjaan, dan ekspektasi sosial datang bertubi-tubi, keindahan yang lembut menjadi tempat mereka menemukan kembali ketenangan.

Di media sosial, kita bisa melihat bagaimana warna digunakan sebagai bahasa emosional. Tema feed yang lembut sering kali menjadi tanda seseorang sedang ingin istirahat dari hiruk pikuk dunia. Foto-foto kamar rapi dengan pencahayaan hangat, bunga kering di sudut meja, atau cangkir teh berwarna pastel bukan sekadar estetika; itu adalah bentuk komunikasi tanpa kata. Warna menjadi perantara antara pikiran yang lelah dan perasaan yang ingin dimengerti.

Fenomena ini juga menggambarkan perubahan besar dalam cara Gen Z memandang kebahagiaan. Jika generasi sebelumnya sering memaknai bahagia sebagai pencapaian besar seperti karier, gaji tinggi, atau status social Gen Z melihatnya dalam hal-hal kecil: waktu luang di sore hari, mendengarkan lagu kesukaan, atau sekadar menata ulang kamar dengan warna yang menenangkan. Kebahagiaan bagi mereka bukan sesuatu yang harus dikejar keras-keras, tapi sesuatu yang bisa dirawat perlahan lewat hal sederhana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun