Biasanya orang-orang seperti ini akan tetap produktif dalam mengisi masa pensiun. Rutinitas kesehariannya akan diisi dengan kegiatan-kegiatan positif, mulai dari meningkatkan ibadah, berolahraga secara teratur, berkebun, rekreasi, atau bahkan melanjurtkan usaha yang telah dirintisnya. Hal ini sungguh inspiratif dan patut dijadikan contoh.
"Terjebak ambisi tanpa henti hingga lupa diri bahwasannya semuanya akan hilang dan berganti menjadi masalah utama dalam menghadapi masa pensiun. Belum lagi soal post power syndrome, hal ini menjadi pemicu stres nomor satu."Â
Lain lagi jika selama berkarir dipenuhi dengan ambisi tanpa henti. Haus kekuasaan dan senantiasa ingin berkuasa terus menerus. Lalu lupa bahwa akan tiba masanya harus menanggalkan kejayaan yang pernah diraihnya.Â
Saat masa pensiun tiba sudah barang tentu tidak akan siap menghadapinya. Rasa cemas, rasa was-was, dan khawatir selalu menghantui setiap saat. Hal ini membuat hati dan pikiran tak tenang sehingga berpengaruh pada kesehatannya.Â
Belum lagi terjebak pada sebuah kondisi yang disebut post power syndrom, yaitu sebuah kondisi dimana masih terjebak dalam bayang-bayang kekuasaan yang pernah dimilikinya dan belum dapat menerima kenyataan bahwa kekuasaan yang pernah dimiliki sudah tidak ada lagi. Hal demikian menjadi pemicu stres nomor satu bagi para pensiunan. Fenomena tersebut yang pernah penulis amati selama ini.
Sebuah keadaan yang penulis amati di sekitarnya. Terdapat dua pilihan tentang bagaimana menyiapkan diri menghadapi masa pensiun. Pilihan kembali ke masing-masing apakah ingin bergembira di hari tua atau sebaliknya.Â
Sudah tentu semua ingin menikmati masa pensiun dengan tetap produktif dan positif. Sebuah pembelajaran hidup tentang bekal menghadapi masa penisun dari sebuah pengamatan dari orang-orang di sekitar penulis. Semoga bermanfaat. (prp)