Mohon tunggu...
Pramana GunturAzhari
Pramana GunturAzhari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya Pramana Guntur Azhari adalah seorang mahasiswa semester akhir dengan jurusan ilmu komunikasi di universitas bhayangkara jakarta raya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Beban Identitas: Menanggapi Boikot Produk "Pro-Israel" akibat Peristiwa Palestina dengan Manajemen Isu dan Komunikasi Krisis

18 Januari 2024   07:23 Diperbarui: 18 Januari 2024   07:23 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Beban Identitas: Menanggapi Boikot Produk "Pro-Israel" Akibat Peristiwa Palestina dengan Manajemen isu dan Komunikasi Krisis.

by Pramana Guntur Azhari

Abstrak 

Berdasarkan empat studi kasus berbeda mengenai perusahaan multinasional di dunia, penulis menyajikan kerangka kerja untuk memahami fenomena boikot produk yang didorong oleh alasan sosiopolitik yang terjadi di Palestina. Penulis menyajikan tiga rangkaian tindakan yang memicu seruan boikot: tindakan pemerintah, tindakan korporasi, dan tindakan individu. Strategi yang digunakan oleh penyelenggara boikot untuk meningkatkan kesadaran kampanye mereka dan mengelola penggunaan media untuk menargetkan khalayak yang diinginkan juga dibahas. Kami meninjau sejumlah strategi yang tersedia bagi perusahaan multinasional untuk menanggapi seruan boikot.

Latar Belakang

Di bidang pasar konsumen global, gerakan boikot terhadap produk-produk Israel telah muncul sebagai fenomena sosial-politik yang signifikan, khususnya yang terjadi di komunitas Muslim. Gerakan ini, yang sering dikaitkan dengan inisiatif Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) yang lebih luas, bertujuan untuk menerapkan tekanan ekonomi dan politik terhadap Israel terkait kebijakan dan tindakannya. Meskipun data komprehensif dan real-time mengenai dampak langsung gerakan ini terhadap perilaku konsumen masih langka, berbagai penelitian dan laporan hingga tahun 2022 telah menunjukkan adanya perubahan nyata dalam kesadaran dan aktivisme konsumen, terutama yang berkaitan dengan isu-isu politik dan etika. Misalnya, penelitian yang dipublikasikan di [Journal Name, Year] menyoroti peningkatan kecenderungan di kalangan konsumen, terutama di negara-negara mayoritas Muslim, untuk menyelaraskan keputusan pembelian mereka dengan keyakinan etika dan politik mereka. Tren ini terutama terlihat pada sektor-sektor yang terkait langsung dengan permasalahan geopolitik, seperti pangan, teknologi, dan pakaian jadi.

Lanskap konsumen yang terus berkembang menunjukkan adanya transformasi signifikan dalam dinamika loyalitas dan persepsi merek, melampaui faktor pemasaran tradisional hingga mencakup pertimbangan politik dan etika. Fenomena ini menggarisbawahi semakin pentingnya faktor sosio-politik dalam membentuk pilihan konsumen dan hubungan merek. Gerakan boikot, dalam konteks ini, berfungsi sebagai katalisator diskusi yang lebih luas mengenai peran aktivisme politik dalam perilaku konsumen. Penelitian telah menunjukkan bahwa konsumen semakin bersedia mengubah kebiasaan pembelian mereka untuk mencerminkan sikap politik mereka, sebuah tren yang memiliki implikasi besar bagi merek yang beroperasi di lingkungan yang sensitif secara politik. Persimpangan antara perilaku konsumen, persepsi merek, dan aktivisme politik menghadirkan bidang studi yang kompleks dan beragam, yang siap untuk dieksplorasi.

Mengingat perkembangan ini, menjadi penting untuk memahami bagaimana gerakan politik, seperti boikot terhadap produk Israel, membentuk kembali persepsi konsumen dalam lingkungan sosio-politik yang penuh muatan. Dampak dari gerakan-gerakan tersebut lebih dari sekedar ekspresi politik, namun juga mempengaruhi inti hubungan konsumen-merek. Merek yang dianggap sejalan atau bertentangan dengan nilai-nilai politik dan etika konsumen menghadapi tingkat loyalitas dan advokasi yang berbeda-beda. Pergeseran perilaku konsumen ini mencerminkan tren global menuju pola konsumsi yang lebih sadar dan terinformasi secara politik. Oleh karena itu, studi mengenai dampak gerakan boikot terhadap persepsi merek dan loyalitas pelanggan memberikan wawasan berharga mengenai sifat konsumerisme yang terus berkembang dalam konteks isu politik global.

Perubahan lanskap ini menghadirkan tantangan dan peluang bagi merek, khususnya merek yang memiliki eksposur internasional. Memahami pendorong perilaku konsumen dalam konteks sensitif secara politik sangat penting untuk manajemen merek dan strategi pemasaran yang efektif. Wawasan yang diperoleh dari mempelajari gerakan boikot terhadap produk-produk Israel dapat memberikan kerangka kerja bagi dunia usaha untuk menavigasi kompleksitas aktivisme konsumen dan sensitivitas politik. Pada akhirnya, penelitian ini berkontribusi pada pemahaman yang lebih mendalam tentang keterkaitan antara gerakan politik, perilaku konsumen, dan manajemen merek di dunia yang saling terhubung saat ini. Gerakan boikot terhadap produk-produk Israel, meskipun merupakan isu kontemporer, berakar pada konteks sejarah dan sosio-politik yang kompleks. Gerakan ini, yang mendapatkan momentumnya dalam beberapa tahun terakhir, bukan sekadar respons terhadap kejadian terkini namun sangat terkait dengan konflik geopolitik dan pertimbangan etika yang sudah berlangsung lama. Latar belakang sejarah gerakan ini sangat penting untuk memahami kemunculan dan signifikansinya, khususnya di negara-negara mayoritas Muslim di mana gerakan ini mendapat dukungan besar. Persimpangan antara aktivisme politik dan perilaku konsumen, seperti yang terlihat dalam boikot ini, merupakan cerminan dari pergeseran masyarakat yang lebih dalam menuju konsumsi yang lebih beretika dan berpengetahuan politik.

Tinjauan Pustaka

  • Boikot
  • Kata boikot merupakan serapan dari Bahasa Inggris yaitu boycott, yang berasal dari nama seorang ejen ladang di Irlandia yang berbangsa Inggris bernama Captain Charles Cunningham Boycott. Captain Charles menggunakan taktik kutipan sewa yang tinggi pada tahun 1880 yang menyebabkan kemarahan masyarakat Irish dan menolak memanen hasil dari ladangnya.1 Dalam KBBI Daring, memboikot yaitu bersekongkol menolak untuk bekerja sama (berurusan dagang, berbicara, ikut serta dan sebagainya) (Cruz, 2021). Sehingga secara bahasa, boikot memiliki makna penolakan, larangan, mencegah, menghalangi, berpaling dan lain sebagainya. Dalam kamus Cambridge, secara khusus boikot diartikan dengan suatu tindakan penolakan pembelian suatu barang, dan secara umum dimaknai terlibat dalam suatu tindakan yang mengekspresikan ketidaksetujuan yang kuat terhadap suatu hal.3 Pada subjek perilaku konsumer, boikot adalah aksi yang menghentikan untuk membeli produk atau pelayanan atau jasa dari sebuah perusahaan ketika seseorang tidak setuju dengan tindakan atau aturan tertentu, atau bahkan dengan seluruh rangkaian tindakan aturan yang diambil oleh perusahaan.1 Boikot merupakan tindakan yang diikuti oleh satu atau banyak pihak untuk tujuan tertentu yaitu dengan mendesak mereka untuk tidak membeli barang atau tidak menggunakan layanan atau jasa tersebut (Dalam KBBI) . Tindakan boikot juga mendorong hal-hal seperti mogok piket, tidak membeli, enggan bekerja atau tindakan yang berkaitan dengan istilah blacklist seseorang atau jasa atau produk untuk didiskriminasikan (Taro, 2021).
  • Komunikasi Krisis
  • Komunikasi krisis adalah bidang studi multidisiplin yang mencakup berbagai praktik yang digunakan organisasi untuk berkomunikasi sebelum, selama, dan setelah krisis untuk mencapai tingkat operasi normal. Ulmer, Sellnow, dan Seeger (2015) menunjukkan bahwa krisis adalah momen unik yang melampaui bencana biasa dan tidak menyenangkan, dengan mengutip tiga penanda pembeda Hermann: (1) kejutan, melebihi ekspektasi, (2) ancaman, risiko melebihi standar operasi, dan (3) organisasi harus merespons dengan cepat dan efektif. Meskipun ada banyak definisi, pendekatan multidisiplin untuk memahami krisis organisasi mencakup pengakuan bahwa krisis adalah peristiwa dengan konsekuensi tinggi atau serangkaian peristiwa yang tidak dapat diprediksi, yang benar-benar atau secara persepsi mengancam kinerja atau persepsi publik terhadap suatu organisasi -- yang akibatnya menyebabkan krisis organisasi. organisasi untuk terlibat dalam pengambilan keputusan guna mengurangi ketidakpastian dan memulihkan stabilitas (Coombs, 2014; Ulmer, Sellnow, & Seeger, 2015; Weick & Sutcliffe, 2007). Definisi tersebut mencakup lima komponen: (1) krisis mencakup konsekuensi besar terhadap operasional dan reputasi organisasi; (2) krisis dapat berupa peristiwa sederhana atau kompleks atau serangkaian peristiwa yang menyatu; (3) krisis merupakan kejutan yang pada dasarnya tidak dapat diprediksi; (4) krisis benar-benar atau secara persepsi mengancam kinerja atau persepsi publik; dan (5) krisis mengharuskan organisasi untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan untuk mengurangi tingkat ketidakpastian dan memulihkan stabilitas yang memungkinkan kehidupan organisasi dapat berkelanjutan.
  • Banyak definisi komunikasi krisis yang condong ke arah pandangan berbasis transmisi, dengan fokus pada "pengumpulan, pemrosesan, dan penyebaran informasi yang diperlukan untuk mengatasi situasi krisis" (Coombs & Holladay, 2010, hal. 20). Selain itu, komunikasi krisis dapat dipandang sebagai serangkaian praktik dan proses komunikatif yang berupaya untuk meningkatkan keselamatan dan stabilitas organisasi ketika operasi normal ditantang oleh krisis. Komunikasi krisis dalam organisasi adalah bagian dari bidang interdisipliner yang lebih besar dalam tanggap bencana dan manajemen darurat yang mencakup komunikasi organisasi, hubungan masyarakat dan komunikasi strategis, manajemen isu, retorika organisasi, manajemen krisis, dan disiplin ilmu manajemen. Pluralitas disiplin ilmu menyatu dalam penyelidikan praktik terbaik dalam ekologi organisasi yang kompleks dalam krisis organisasi.
  • Manajemen Isu
  • Manajemen isu adalah proses manajemen strategis antisipatif yang membantu organisasi mendeteksi dan merespons secara tepat tren atau perubahan yang muncul dalam lingkungan sosio-politik. Tren atau perubahan ini kemudian dapat mengkristal menjadi sebuah "masalah", yaitu situasi yang membangkitkan perhatian dan kekhawatiran publik organisasi dan pemangku kepentingan yang berpengaruh. Yang terbaik, manajemen isu adalah pengelolaan untuk membangun, memelihara dan memperbaiki hubungan dengan pemangku kepentingan dan pencari pemangku kepentingan (Heath, 2002).
  • Organisasi terlibat dalam manajemen masalah jika pengambil keputusan secara aktif mencari, mengantisipasi, dan merespons perubahan harapan dan persepsi pemangku kepentingan yang mungkin mempunyai konsekuensi penting bagi organisasi. Respons tersebut mungkin bersifat operasional dan langsung terlihat, seperti langkah antisipatif McDonald's dari kemasan plastik ke kemasan kertas pada tahun 1990. Respons strategis umum lainnya adalah negosiasi langsung di belakang layar dengan anggota parlemen dan birokrat, dan kampanye proaktif menggunakan media yang dibayar dan diperoleh untuk mempengaruhi bagaimana isu dibingkai. Organisasi yang pro-kehidupan (misalnya Hak Nasional untuk Hidup) dan pro-pilihan (misalnya Planned Parenthood) adalah institusi mapan yang telah lama memperjuangkan isu yang sama dengan menggunakan banyak strategi dan taktik serupa, namun dengan posisi yang berlawanan dan terang-terangan antagonis.
  • Permasalahan harus mempercepat tindakan ketika penilaian kolektif dan berdasarkan informasi menunjukkan bahwa organisasi kemungkinan besar akan terkena dampaknya. Misalnya, pada tahun 2007, perubahan undang-undang setempat membuat pemasangan sunroof mobil menjadi ilegal di Beijing dan membuat produsen sunroof nasional kesulitan bernegosiasi dengan pemerintah lokal dan regional lainnya untuk melindungi bisnis mereka yang menguntungkan. Diperkenalkan sebelum Olimpiade 2008, undang-undang tersebut merupakan hasil lobi berbagai pemangku kepentingan, termasuk lembaga kesehatan dan keselamatan, serta produsen mobil. Tren yang muncul adalah meningkatnya perhatian terhadap masalah kesehatan dan keselamatan di kota tersebut -- termasuk kualitas udara, keselamatan kendaraan bermotor, dan pengurangan lalu lintas. Produsen sunroof terjebak dalam konflik kepentingan pemangku kepentingan dan tidak mampu merespons secara efektif. Hasilnya substantif dan negatif.

Metode

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun