Ketegangan meningkat di Ukraina saat Presiden Volodymyr Zelenskyy menandatangani undang-undang yang memberikan kekuasaan baru bagi Jaksa Agung atas dua lembaga anti-korupsi, yaitu NABU (National Anti-Corruption Bureau of Ukraine) dan SAPO (Specialized Anti-corruption Prosecutor's Office).
Kebijakan ini memicu demonstrasi besar di Kyiv, dengan masyarakat sipil menuding pengambilalihan kekuasaan dan potensi intervensi politik oleh presiden yang sedang memimpin negara yang dalam kondisi sedang berperang dengan Rusia. Zelenskyy berdalil bahwa langkah tersebut diperlukan untuk menyingkirkan "pengaruh Rusia" yang diyakini telah meresap di lembaga-lembaga itu.
Namun para kritikus, aktivis, politisi, dan mitra Barat, menganggap hal ini justru melemahkan independensi lembaga yang dibentuk pasca-Revolusi Maidan. Apakah langkah ini benar-benar diperlukan untuk melindungi negara dari infiltrasi musuh atau justru melunturkan pencapaian Ukraina dalam tata kelola pemerintahan yang bersih?
Protes di Ukraina sehubungan dengan UU Anti-Korupsi baru (Sumber/Kredit Foto: ABC News)

Kronologi dan Isi Undang-Undang
Pada tanggal 22 Juli 2025, Parlemen Ukraina meloloskan undang-undang yang membuat NABU (National Anti-Corruption Bureau) dan SAPO (Specialized Anti-Corruption Prosecutor's Office) berada di bawah kendali langsung Jaksa Agung Ukraina, pejabat yang ditunjuk Presiden. Undang-undang ini memberikan kepada Jaksa Agung kewenangan untuk menarik kasus dari NABU/SAPO dan mengawasi penyidikannya.
Presiden Volodymyr Zelenskyy membela dengan alasan adanya perlu "membersihkan" lembaga dari pengaruh Rusia. Namun media independen seperti Kyiv Independent mempertanyakan klaim ini, hukum tersebut tidak mengandung pasal terkait pengaruh asing secara spesifik, sehingga tuduhan Zelenskyy sebagian besar belum didukung oleh bukti.
Reaksi Publik, Aktivis, dan Aliansi Barat
Langkah ini memicu protes besar di Kyiv dan kota-kota lainnya, dan protes-protes besar itu adalah demonstrasi sipil terbesar sejak awal perang dengan Rusia (sejak 24 Februari 2022). Aktivis mengatakan pengambilalihan kekuasaan ini "tidak berdasar" dan hanya menguntungkan elit politik. The Guardian menulis bahwa Presiden Volodymyr Zelenskyy melanggar kontrak moral perang yang dibangun sejak 2014: rakyat menerima pengorbanan demi reformasi, dan sekarang Presiden Volodymyr Zelenskyy dianggap meminta keberpihakan kembali.
Konsep "kontrak moral perang" menyiratkan bahwa aturan yang mengatur peperangan didasarkan pada kesepakatan, baik eksplisit maupun implisit, antarnegara atau kelompok untuk meminimalkan kerugian dan memastikan keadilan. Gagasan ini, yang berakar pada kontraktarianisme, menyatakan bahwa pelaksanaan perang bukan semata-mata masalah kekuasaan atau kemanfaatan, tetapi juga tunduk pada batasan moral yang berasal dari keuntungan dan persetujuan bersama.
Sedangkan konsep "kontrak moral" dalam konteks perang di Ukraina mengacu pada pemahaman dan ekspektasi bersama terkait pelaksanaan perang, baik di Ukraina maupun internasional. Konsep ini mencakup pertimbangan etis, prinsip, dan kewajiban yang dipersepsikan yang memandu tindakan warga negara Ukraina, militernya, dan sekutunya. Hal ini mencakup hak untuk membela diri, perlindungan warga sipil, dan upaya mencapai perdamaian yang adil, di samping tantangan dalam menjaga moral dan menavigasi kompleksitas konflik yang berkepanjangan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!