Mohon tunggu...
Prahasto Wahju Pamungkas
Prahasto Wahju Pamungkas Mohon Tunggu... Advokat, Akademisi, Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa (Belanda, Inggris, Perancis dan Indonesia)

Seorang Advokat dan Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa dengan pengalaman kerja sejak tahun 1995, yang juga pernah menjadi Dosen Tidak Tetap pada (i) Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, (ii) Magister Hukum Universitas Pelita Harapan dan (iii) Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang gemar travelling, membaca, bersepeda, musik klasik, sejarah, geopolitik, sastra, koleksi perangko dan mata uang, serta memasak. https://pwpamungkas.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Prinsip Right of Self-Determination dan Ujian Hukum Internasional Kontemporer

20 Juli 2025   20:15 Diperbarui: 20 Juli 2025   20:19 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transnistria (Sumber/Kredit Foto: BBC)

Prinsip hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination) telah menjadi jantung perdebatan dalam hukum internasional modern. Prinsip ini adalah prinsip hukum yang diajarkan kepada semua mahasiswa fakultas hukum, khususnya jurusan hukum internasional publik, atau yang mengambil mata kuliah hukum internasional publik tersebut.

Hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination) dalam hukum internasional mengacu pada hak hukum setiap orang untuk secara bebas menentukan status politik mereka dan mengejar pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya mereka sendiri. Hak ini merupakan prinsip dasar yang diakui dalam berbagai perjanjian internasional dan hukum kebiasaan (tak tertulis), khususnya mengenai hak semua orang untuk menentukan nasib mereka sendiri. Hak ini tidak terbatas pada kemerdekaan saja, tetapi juga dapat mencakup kebebasan berasosiasi atau berintegrasi dengan negara lain. Hak penentuan nasib sendiri dilindungi dalam Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) sebagai hak "semua bangsa".

(Sumber/Kredit Foto: iPLeaders)
(Sumber/Kredit Foto: iPLeaders)

Di tengah kompleksitas konflik global dan dinamika kekuasaan, wilayah-wilayah seperti Ukraina, Moldova, Georgia, Taiwan, dan Palestina menjadi medan ujian prinsip ini, dalam batas antara hak yang sah dan legal, kepentingan geopolitik, dan intervensi asing. Meskipun didukung dalam Piagam PBB dan Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal PBB dan berbagai konvensi/perjanjian internasional, penerapannya kerap bertentangan dengan prinsip integritas teritorial. Di mana batas antara legalitas dan politik? Seberapa sah tuntutan pemisahan diri? Saya menulis artikel ini untuk menganalisis jawaban-jawaban tersebut dalam kerangka doktrinal dan realitas kontemporer.

Landasan Normatif: Hak Universal dan Batasannya

Prinsip self-determination dijamin secara normatif dalam beberapa instrumen utama:

  • Piagam PBB, Pasal 1(2): Hak bangsa untuk menentukan status politik mereka sendiri.
  • International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), Pasal 1: Mengakui hak semua bangsa atas penentuan nasib sendiri.
  • Deklarasi PBB 1970 tentang Hubungan Persahabatan menyatakan bahwa hak ini tidak boleh digunakan untuk merusak integritas wilayah negara berdaulat.

Hak untuk menentukan nasib sendiri tidak sama dengan hak untuk melakukan pemisahan diri secara otomatis, dan legitimasinya bisa berbeda penerapannya dalam kasus:

  • Dekolonisasi
  • Pendudukan asing
  • Penindasan sistemik yang berat

Kasus-Kasus Regional: Persimpangan antara Hukum dan Politik

Ukraina (Donbass dan Crimea)
Donetsk dan Luhansk adalah dua oblast (wilayah) di regio Donbass, Ukraina, mendeklarasikan kemerdekaan dari Ukraina dengan dukungan Rusia, lalu Rusia menganeksasi Crimea pada tahun 2014 dan mengklaim empat wilayah lagi (Donetsk, Luhansk, Kherson dan Zaporizhzhia) pada tahun 2022 setelah melakukan invasi skala penuh ke Ukraina. Namun, Resolusi Majelis Umum PBB 68/262 (2014) menegaskan kedaulatan dan integritas wilayah Ukraina, dan menyatakan referendum Rusia di Crimea tidak sah. Karena dilakukan di bawah pendudukan asing dan kekuatan militer, klaim right of self-determination yang dilakukan oleh bangsa Tatar Crimea dianggap tidak sah.

Wilayah Donbas (Donetsk & Luhansk) dan Crimea (Sumber/Kredit Foto: University of Tokyo)
Wilayah Donbas (Donetsk & Luhansk) dan Crimea (Sumber/Kredit Foto: University of Tokyo)
Moldova (Transnistria)
Wilayah ini memisahkan diri dari Moldova dengan dukungan Rusia pasca-pecahnya Uni Soviet. Namun tidak ada negara anggota PBB yang mengakuinya. PBB tetap menyatakan bahwa Transnistria adalah bagian dari Moldova. Sama seperti Donbas, wilayah ini mencerminkan pemisahan diri tanpa legitimasi hukum internasional.

Transnistria (Sumber/Kredit Foto: BBC)
Transnistria (Sumber/Kredit Foto: BBC)
Georgia (Abkhazia dan Ossetia Selatan)
Pasca-Perang 8 (delapan) hari antara Rusia dan Georgia yang, tentu saja, dimenangkan oleh Rusia (2008), Rusia mengakui kemerdekaan Abkhazia dan Ossetia Selatan. Namun, mayoritas besar negara anggota PBB dan PBB sendiri menolak klaim tersebut, dan menegaskan bahwa Abkhazia dan Ossetia Selatan adalah bagian sah dari Georgia. Lagi-lagi, campur tangan Rusia membatalkan validitas prinsip self-determination dalam kasus ini.

Abkhazia dan Ossetia Selatan (Sumber/Kredit Foto: Radio Free Europe)
Abkhazia dan Ossetia Selatan (Sumber/Kredit Foto: Radio Free Europe)
Taiwan
Taiwan memiliki sistem pemerintahan sendiri, ekonomi independen, dan pemilu demokratis. Namun, China mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya. Meskipun tidak diakui secara luas sebagai negara karena kebijakan Satu China (One China Policy), Taiwan memenuhi unsur de facto negara merdeka. Karena tidak ada pendudukan atau penjajahan langsung, dan tidak dilakukan di bawah kekerasan eksternal, maka klaim right of self-determination Taiwan memiliki legitimasi substansial secara prinsip, namun terhalang oleh konstelasi geopolitik global.

Taiwan (Sumber/Kredit Foto: BBC)
Taiwan (Sumber/Kredit Foto: BBC)
Palestina
Palestina telah diakui oleh lebih dari 135 negara dan berstatus sebagai negara pengamat non-anggota di PBB. Resolusi PBB 3236 (1974) dan 67/19 (2012) mengakui hak rakyat Palestina atas self-determination. Situasi pendudukan, penghalangan kedaulatan, dan ketimpangan politik menjadikan klaim ini sah dan didukung luas oleh komunitas internasional, meskipun realisasi sepenuhnya masih tertunda karena konflik berkepanjangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun