Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk memberlakukan tarif tambahan sebesar 10% terhadap negara-negara anggota BRICS dan negara-negara yang akan bergabung dengan BRICS memicu ketegangan global yang menyentuh ranah perdagangan, geopolitik, dan stabilitas hubungan internasional.
Kebijakan ini tidak hanya mengguncang lima negara anggota pendiri BRICS (Brasil (Brazil), Rusia (Russia), India, Tiongkok (China), dan Afrika Selatan (South Africa)), tetapi juga menyeret negara-negara yang telah bergabung ke dalam BRICS, termasuk Indonesia, dan yang berstatus mitra BRICS, seperti Thailand.
Dalam lanskap geopolitik dunia yang semakin multipolar, manuver Presidem Donald Trump ini menempatkan negara-negara berkembang dalam dilema strategis: antara memperkuat solidaritas Global South atau mempertahankan relasi dagang dengan Amerika Serikat. Artikel yang saya susun ini mengupas dinamika tersebut dari sudut pandang politik, ekonomi, sosial, geopolitik, dan hukum internasional.
Trump dan Strategi Tarif Konfrontatif
Langkah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menambah beban tarif hingga 10% terhadap semua produk impor dari negara BRICS dinilai sebagai upaya represif untuk menahan pengaruh ekonomi-politik blok negara berkembang tersebut.
Catatan: Untuk menghindari kebingungan mengenai mengapa dalam artikel ini saya katakan bahwa negara-negara anggota pendiri BRICS dikategorikan sebagai negara berkembang, padahal Rusia adalah negara adikuasa dan China amat sangat kaya, saya perlu menjelaskannya sebagai berikut. Menurut Investopedia dan Wikipedia, berdasarkan klasifikasi Dana Moneter Internasional/International Monetary Fund (IMF) dan Perserikatan Bangsa-bangsa, negara-negara anggota pendiri BRICS dianggap sebagai negara berkembang/negara dalam periode transisi dari status negara berkembang menjadi negara maju.
Brasil: Meskipun memiliki beberapa karakteristik sebagai negara maju, termasuk ekonomi terbesar di Amerika Selatan atau Amerika Tengah, Brasil masih dianggap sebagai negara berkembang karena Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita yang lebih rendah, angka kematian bayi yang lebih tinggi, dan faktor-faktor lainnya. Angka kelahirannya yang tinggi, yakni 13 kelahiran per 1.000 orang pada tahun 2022, juga merupakan karakteristik umum negara berkembang. Beberapa faktor berkontribusi terhadap semua metrik ini, termasuk kurangnya air bersih; terbatasnya akses ke layanan kesehatan yang memadai, terutama di daerah pedesaan; kondisi perumahan yang buruk di banyak daerah; dan pola makan yang tidak memenuhi standar.
Rusia adalah negara dalam periode transisi dari negara berkembang menjadi negara maju. Rusia saat ini tidak tergolong negara maju, meskipun pernah berkuasa bersama Amerika Serikat sebagai negara adikuasa dunia. Perekonomian negara itu hancur akibat runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991 pada saat Perang Dingin berakhir. Baru-baru ini, perang antara Rusia dengan Ukraina berdampak buruk pada perekonomiannya karena sanksi yang dijatuhkan oleh negara-negara lain. Kemiskinan tersebar luas (13% dari populasi, mayoritas adalah anak-anak) dan kepuasan hidup yang rendah (dengan warga Rusia rata-rata memberikan nilai 2,1 dari 10). Seperti yang biasa terjadi di negara berkembang, ekspor sumber daya alam menjadi pendorong utama ekonomi Rusia. Angka kematian bayi pada tahun 2022 adalah  4 (empat) per 1.000, sedangkan harapan hidup saat lahir adalah 73 tahun.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!