Saat Eropa dilanda gelombang panas ekstrem yang diperkirakan bakal berlangsung selama 5 (lima) bulan, Jakarta dan sejumlah daerah di Indonesia justru digenangi banjir pada bulan Juli 2025, padahal seharusnya Indonesia sudah memasuki musim kemarau. Fenomena ini bukan hanya anomali cuaca, namun sinyal gangguan iklim global yang kompleks. Dari Quasi-Biennial Oscillation hingga gelombang Madden--Julian, iklim kita berubah cepat.
Dampaknya bukan sekadar riak air di jalan, tapi ancaman nyata bagi infrastruktur, keselamatan warga, dan kesehatan publik. Saya mencoba menyajikan pemahaman tentang penyebab meteorologis hujan deras di musim kemarau, dan kontrasnya dengan panas ekstrem di belahan bumi utara, serta apa yang perlu kita lakukan sekarang untuk menghadapi masa depan iklim yang semakin sulit diprediksi.
Baca juga: Cuaca Bulan Juli yang Tak Lazim: Hujan di Musim Kemarau
QBO dan MJO: Motor Cuaca Musim Kemarau Basah
Menurut artikel Kompas (8 Juli 2025) dengan judul "Menguak Peran 'Angin Dua Tahunan' dalam Banjir di Musim Kemarau", inflows Quasi-Biennial Oscillation (QBO) yang sedang berada dalam fase timuran meningkatkan ketidakstabilan atmosfer di stratosfer bawah, yang membuka peluang konveksi intens meski seharusnya musim kemarau. QBO sendiri merupakan fenomena berulang sekitar dua tahunan yang mengubah arah angin di stratosfer tropis dari barat ke timur dan sebaliknya. Ketika fase QBO ini bersinergi dengan Madden--Julian Oscillation (MJO), fenomena gangguan atmosfer tropis yang bergerak dari barat ke timur dan mendorong pembentukan awan dan hujan, maka Indonesia menjadi lebih rentan terhadap hujan lebat, bahkan di luar musim hujan.
Kontras Global: Indonesia Basah, Eropa Terbakar Matahari
Berbanding terbalik dengan Indonesia, kawasan Eropa saat ini mengalami gelombang panas ekstrem yang diperkirakan akan berlangsung selama 5 (lima) bulan. Negara-negara seperti Italia, Spanyol, dan Yunani melaporkan suhu yang menembus 40 derajat Celsius.
Penyebabnya adalah sistem tekanan tinggi yang menetap di atas benua Eropa, menciptakan heat dome atau kubah panas yang memerangkap udara panas dan menghalangi masuknya sistem cuaca baru. Hal ini diperparah oleh perubahan arus jet stream akibat pemanasan Samudra Arktik di Kutub Utara, yang menyebabkan stagnasi atmosfer.
Fenomena cuaca ekstrem di dua belahan dunia ini saling berkaitan. Kondisi atmosfer global dipengaruhi oleh perbedaan suhu permukaan laut dan pergeseran tekanan, yang memicu pola saling bertolak belakang antara wilayah tropis dan subtropis. Ketika Asia Tenggara diguyur hujan anomali, Eropa justru mengalami kekeringan dan panas ekstrem.
Risiko Bencana dan Dampak Sosial di Indonesia
Konsekuensi hujan deras di musim kemarau tidak hanya sebatas genangan. Banjir yang berulang memperbesar potensi bencana lanjutan seperti tanah longsor, terutama di daerah perbukitan atau wilayah dengan deforestasi tinggi. Di wilayah Bogor, Purworejo, dan Bandung Barat, tanah longsor kecil sudah mulai dilaporkan sejak awal bulan Juli. Struktur tanah yang jenuh air dengan lapisan humus tidak stabil menjadi pemicu utama. Dalam kondisi ekstrem, tanah longsor yang terjadi dapat menutup jalur transportasi vital dan merusak permukiman warga.