Dalam diplomasi internasional, G7 muncul sebagai simbol kekuatan demokratis dan ekonomi liberal. Namun kini dua figur ikonis, Vladimir Putin dan Donald Trump, mengancam stabilitas dasar koalisi ini. Putin, yang dikeluarkan dari G8 tahun 2014 setelah aneksasi Crimea (sehingga G8 berubah kembali menjadi G7), terus memperluas pengaruh lewat invasi Ukraina dan jaringan geopolitiknya.
Sementara Trump, sejak sebelum resmi memegang kekuasaan kembali, telah berulang kali menyerukan agar Rusia diundang kembali ke G7, seolah melemahkan konsensus aliansi demokratis dan mengangkangi ketentuan kolektif seperti yang ditegaskan Canada dan Uni Eropa .
Sektor politik Eropa turut terguncang. Trump menentang pernyataan resmi yang menolak agresi Russia dan terus memandang positif Russia sebagai "negara penting" dalam tatanan global, dan hal itu memicu kritik tajam dari negara-negara seperti Jerman, Inggris, dan Perancis yang merpakan anggota G7 dari benua Eropa. Sementara itu, senator AS Lindsey Graham mendesak sanksi drastis terhadap Russia, hal mana menunjukkan bahwa Kongres AS berpotensi untuk mengambil tindakan yang berbeda dari agenda Trump.
Pusaran Politik Global: Putin dan Trump Menyerang dari Dua Sisi
Dampak negatif terhadap G7 akibat kehadiran dua figur besar seperti Vladimir Putin dan Donald Trump sangat signifikan, terutama dalam konteks geopolitik, ekonomi, dan kredibilitas institusional.
Vladimir Putin
Vladimir Putin mewakili tantangan eksternal yang menggerogoti fondasi moral G7, terutama sejak aneksasi Crimea pada 2014 dan invasi skala penuh ke Ukraina sejak bulan Februari 2022 yang masih berlangsung hingga 2025. Tindakan agresif Russia tersebut bertentangan langsung dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh G7 seperti kedaulatan nasional, stabilitas kawasan, dan penegakan hukum internasional.
Dengan adanya tekanan atau wacana untuk mengembalikan Russia ke dalam forum elite tersebut, kredibilitas G7 sebagai forum negara-negara demokratis terancam terkikis. Seolah-olah, prinsip dapat dinegosiasikan demi kepentingan jangka pendek atau tekanan diplomatik.
Donald Trump
Di sisi lain, Donald Trump merepresentasikan tantangan internal yang sama mengganggunya. Ketika pertama kali menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat dan bahkan dalam kampanye atau pernyataannya setelahnya, Trump kerap kali menunjukkan sikap meremehkan aliansi multilateral, mempertanyakan manfaat NATO, mengancam memberlakukan tarif terhadap sekutu negaranya, dan mengusulkan agar Russia kembali diundang ke G7. Ketika salah satu negara pendiri G7, yakni Amerika Serikat, mengalami ambiguitas komitmen terhadap prinsip forum tersebut, maka integritas kolektifnya menjadi rentan. Negara-negara anggota lainnya, seperti Jerman, Perancis, dan Canada, sulit membangun konsensus yang kokoh bila salah satu anggotanya justru menjadi sumber disonansi.
Kehadiran dua figur ini secara simultan, dari luar dan dalam, menimbulkan efek delegitimasi. Keputusan-keputusan G7 berisiko tidak dihormati karena terfragmentasi secara internal dan tertekan secara eksternal. Dunia luar mulai memandang G7 bukan lagi sebagai forum solid negara-negara demokrasi mapan, tetapi sebagai panggung kontestasi antara kepentingan pribadi para pemimpin, bukan kepentingan rakyat. Hal ini memperlemah kemampuan G7 untuk menjadi penentu arah tata dunia, termasuk dalam isu-isu perubahan iklim, perang, pengentasan kemiskinan, dan regulasi teknologi global.