Mohon tunggu...
Prahasto Wahju Pamungkas
Prahasto Wahju Pamungkas Mohon Tunggu... Advokat, Akademisi, Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa (Belanda, Inggris, Perancis dan Indonesia)

Seorang Advokat dan Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa dengan pengalaman kerja sejak tahun 1995, yang juga pernah menjadi Dosen Tidak Tetap pada (i) Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, (ii) Magister Hukum Universitas Pelita Harapan dan (iii) Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang gemar travelling, membaca, bersepeda, musik klasik, sejarah, geopolitik, sastra, koleksi perangko dan mata uang, serta memasak. https://pwpamungkas.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Tradisi vs Hukum: Pernikahan Anak di Lombok Tengah

25 Mei 2025   21:30 Diperbarui: 25 Mei 2025   20:34 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pernikahan Anak SPM-SMK di Lombok Tengah (Sumber/Kredit Foto: DetikNews - news.detik.com)

Dalam kasus Kepala Dusun di Lombok Tengah yang meminta maaf karena merasa tidak bisa mencegah pernikahan itu, permintaan maafnya menunjukkan ia menyadari adanya permasalahan, tetapi tidak cukup hanya meminta maaf jika ia memiliki andil dalam terjadinya pelanggaran hukum. Bila perannya terbukti lebih dari sekadar "tidak bisa mencegah", maka ia juga bisa dimintai pertanggungjawaban hukum secara pidana.

Kesimpulan

Pernikahan anak di bawah umur merupakan masalah kompleks yang melibatkan aspek hukum, budaya, dan sosial. Meskipun tradisi dan kepercayaan lokal memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat, mereka tidak dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan ketentuan hukum nasional yang bertujuan melindungi hak-hak anak.

Diperlukan sinergi antara pemerintah, aparat penegak hukum, tokoh masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat untuk mengatasi permasalahan ini. Melalui pendekatan yang holistik dan berkelanjutan, diharapkan praktik pernikahan anak dapat diminimalisir, dan anak-anak Indonesia dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan mendukung.

Tanggung jawab utama secara pidana ada pada orang tua dan pihak yang menikahkan, terutama jika tidak ada dispensasi hukum dan anak belum mencapai usia minimum perkawinan. Pejabat publik, termasuk kepala dusun atau tokoh adat, juga bisa dimintai pertanggungjawaban jika mereka berperan aktif atau melakukan pembiaran terhadap pelanggaran hukum. Kasus semacam ini menyoroti perlunya edukasi hukum di masyarakat dan penegakan hukum yang tegas namun juga sensitif terhadap konteks sosial-budaya.

Jika dibutuhkan, aparat penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) bersama lembaga perlindungan anak dapat melakukan penyelidikan lebih lanjut untuk menentukan siapa saja yang patut dimintai pertanggungjawaban pidana secara individual.

Jakarta, 25 Mei 2025
Prahasto Wahju Pamungkas

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun