Mohon tunggu...
Prahasto Wahju Pamungkas
Prahasto Wahju Pamungkas Mohon Tunggu... Advokat, Akademisi, Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa (Belanda, Inggris, Perancis dan Indonesia)

Seorang Advokat dan Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa dengan pengalaman kerja sejak tahun 1995, yang juga pernah menjadi Dosen Tidak Tetap pada (i) Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, (ii) Magister Hukum Universitas Pelita Harapan dan (iii) Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang gemar travelling, membaca, bersepeda, musik klasik, sejarah, geopolitik, sastra, koleksi perangko dan mata uang, serta memasak. https://pwpamungkas.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Tradisi vs Hukum: Pernikahan Anak di Lombok Tengah

25 Mei 2025   21:30 Diperbarui: 25 Mei 2025   20:34 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pernikahan Anak SPM-SMK di Lombok Tengah (Sumber/Kredit Foto: DetikNews - news.detik.com)

Selain itu, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Dengan demikian, pihak-pihak yang terlibat dalam pernikahan anak, termasuk orang tua, tokoh adat, atau pejabat yang melegalkan pernikahan tersebut tanpa mengikuti prosedur hukum yang berlaku, dapat dikenai sanksi pidana.

Upaya Penegakan Hukum dan Perlindungan Anak

Kasus pernikahan anak di Lombok Tengah telah dilaporkan ke pihak kepolisian oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) setempat. Langkah ini menunjukkan keseriusan dalam menegakkan hukum dan melindungi hak-hak anak dari praktik-praktik yang merugikan.

Namun, penegakan hukum saja tidak cukup. Diperlukan pendekatan yang komprehensif, termasuk edukasi kepada masyarakat tentang dampak negatif pernikahan anak, pemberdayaan ekonomi keluarga, dan penguatan peran tokoh agama dan adat dalam menyosialisasikan pentingnya menaati hukum nasional.

Siapa yang Harus Bertanggungjawab?

Dalam kasus dugaan pidana terkait perkawinan anak di bawah umur di Lombok Tengah, tanggung jawab hukum dapat dikenakan kepada beberapa pihak, tergantung pada peran mereka dalam berlangsungnya perkawinan tersebut, dan dapat dijerat dengan ketentuan pidana berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak serta Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Orang tua adalah pihak yang paling mungkin dimintai pertanggungjawaban, terutama jika:

  • Mereka memberikan izin atau memfasilitasi perkawinan anak, meskipun anak tersebut belum mencapai usia minimum perkawinan (19 tahun sesuai UU No. 16 Tahun 2019).
  • Mereka tidak mengajukan permohonan dispensasi ke pengadilan agama atau pengadilan negeri sebagaimana diwajibkan oleh undang-undang.
  • Terdapat indikasi bahwa orang tua memaksa atau mendorong anak untuk menikah demi menyelamatkan "aib keluarga", "nama baik", atau karena alasan ekonomi.

Dalam konteks ini, tindakan orang tua dapat dianggap sebagai bentuk eksploitasi anak atau kekerasan struktural, yang merupakan tindak pidana menurut UU Perlindungan Anak maupun UU TPKS.

Jika pernikahan dilakukan secara resmi (bukan hanya adat), maka petugas pencatat nikah dari Kantor Urusan Agama (KUA) atau pejabat lain yang berwenang yang menikahkan pasangan tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban apabila:

  • Mereka menikahkan pasangan anak tanpa memeriksa usia atau dokumen identitas secara sah.
  • Mereka tidak menolak pernikahan tersebut meskipun mengetahui bahwa kedua calon mempelai berada di bawah usia minimum tanpa ada surat dispensasi dari pengadilan.

Namun, jika pernikahan dilakukan secara adat tanpa pencatatan negara, maka tanggung jawab pidana atas pernikahan ini tidak serta-merta jatuh pada petugas negara (karena tidak terlibat langsung), tetapi tetap ada kemungkinan pelanggaran etika administrasi jika diketahui ada pembiaran atau pembenaran terhadap praktik tersebut.

Di atas diceritakan bahwa Kepala Dusun meminta maaf, karena tidak bisa mencegah tradisi. Kepala Dusun tersebut atau tokoh masyarakat tidak langsung bertanggung jawab secara pidana, kecuali:

  • Mereka secara aktif mendorong, menyetujui, atau memfasilitasi pernikahan anak tersebut.
  • Mereka membiarkan atau bahkan menyelenggarakan proses pernikahan secara adat dengan pengetahuan penuh bahwa itu melanggar hukum nasional.
  • Mereka menyembunyikan informasi dari pihak berwajib atau menghalangi pelaporan kepada aparat penegak hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun