Hari Minggu, tanggal 18 Mei 2025, ditetapkan sebagai hari di mana Misa Inaugurasi (penobatan) Paus Leo XIV akan diselenggarakan di Basilica di San Pietro (Basilika Santo Petrus) di Vatican.
Upacara ini akan dihadiri secara pribadi oleh banyak pemimpin dunia atau wakil resmi mereka, termasuk para pemimpin negara monarki atau wakil resmi mereka.
Hal yang menarik adalah busana yang dikenakan oleh para wanita pada acara ini.
Sesuai tradisi Gereja Katolik dan protokol resmi Takhta Suci Vatican, setiap wanita yang beraudiensi dengan Paus, atau berada di tempat yang sama dengan Paus, dan terutama pada Misa Inaugurasi, diharapkan (kalau jaman dulu: wajib) mengenakan gaun panjang dengan lengan panjang dan kerah tinggi warna hitam dan menutupi kepalanya juga dengan warna hitam.
Protokol Vatican
Dalam protokol ketat upacara Vatican, warna pakaian bukan sekadar estetika, tetapi ini adalah simbol makna, hierarki, dan tradisi. Salah satu tradisi yang paling unik dan penuh simbolisme adalah "Privilege du Blanc", atau "hak untuk mengenakan putih" di hadapan Paus. Tradisi ini bukan hanya soal pakaian, tetapi mencerminkan nilai-nilai sejarah, identitas spiritual, dan relasi diplomatik antara Takhta Suci dan monarki Katolik.
"Privilege du Blanc" berasal dari tradisi istana Vatican yang telah berlangsung selama berabad-abad. Umumnya, ketika seseorang bertemu dengan Paus, mereka diwajibkan mengenakan pakaian hitam sebagai tanda hormat dan kerendahan hati. Namun, ada segelintir ratu dan putri Katolik yang diperbolehkan mengenakan busana putih, warna yang secara tradisional dikaitkan dengan kesucian dan keutamaan Paus sendiri.
Sejak abad ke-18, privilege/hak istimewa ini diberikan kepada Ratu atau Permaisuri dari monarki Katolik di Eropa yang memiliki hubungan erat dengan Vatican, baik secara religius maupun diplomatis. Hal ini mencerminkan tidak hanya status kerajaan tersebut, tetapi juga komitmen negara mereka terhadap iman Katolik.
Putih, dalam konteks Katolik, melambangkan kemurnian, spiritualitas, dan terang Kristus. Dalam hal ini, Privilege du Blanc mengandung filosofi bahwa sosok yang memakainya dianggap memiliki posisi istimewa dalam tatanan simbolik gereja, sebagai "ratu Katolik" yang menjunjung nilai-nilai Kristiani dan membela iman dalam lingkup kenegaraan.
Namun, warna ini juga sarat makna politis dan kultural. Mengenakan putih dalam hadirat Paus menjadi bentuk komunikasi nonverbal tentang kesetiaan, status, dan peran perempuan Katolik dalam diplomasi spiritual.
Siapa yang Berhak dan Mengapa
Secara tradisional, hak istimewa ini berlaku atau diterapkan kepada:
- Permaisuri Kekaisaran Roma Suci dan Austria-Hongaria (termasuk Archduchess Austria (Maria Theresia) dan Ratu Hongaria & Bohemia (Maria Theresia),
- Ratu Bavaria,
- Ratu Belgia,
- Ratu Perancis,
- Ratu Italia (sekarang dipegang oleh Putri Napoli, istri Kepala Keluarga Savoy, sejak Italia menjadi republik)
- Ratu Polandia,
- Ratu Portugal,
- Ratu Spanyol,
- Grand Duchess Lithuania,
- Grand Duchess Luxembourg (setelah uni personal antara Kerajaan Belanda dan Keharyapatihan (Grand Duchy) Luxembourg berpisah di tahun 1890), dan
- beberapa Putri atau Ratu Jerman.
Akan tetapi, beberapa monarki kini telah digantikan oleh republik, yang memperpendek daftarnya secara signifikan, sehingga kini selain Ratu Belgia dan Ratu Spanyol, Grand Duchess Luxembourg dan Putri Monaco, istri kepala Dinasti Savoy (penuntut (claimant) takhta Italia, jika Italia dikembalikan ke bentuk monarki) diberi hak istimewa ini.
Mereka diberikan hak ini karena negara mereka menjunjung Katolik sebagai agama negara, atau memiliki sejarah panjang sebagai penjaga nilai Katolik dalam konteks monarki. Selain itu, mereka juga harus beragama Katolik dan, jika statusnya adalah Permaisuri dan bukan Ratu atau Grand Duchess yang bertakhta, maka suaminya yang Raja atau Grand Duke, harus beragama Katolik.
Tidak ada catatan sejarah yang mengatakan secara tegas bahwa Maria Theresia atau para Permaisuri Kekaisaran Roma Suci dan Austria-Hongaria (seperti Permaisuri Elisabeth (Sisi) dan Permaisuri Zita de Bourbon-Parma) pernah memanfaatkan hak istimewa ini.
Konsep privilege du blanc baru distandarkan secara protokoler pada abad ke-19 hingga ke-20, ketika Vatican mulai menyusun aturan diplomatik yang lebih eksplisit, seiring perubahan hubungan internasional dan Konsili Vatican I.
Maria Theresia adalah Permaisuri dari Kekaisaran Romawi Suci, sekaligus penguasa sendiri di wilayah Habsburg (Austria, Hongaria, Bohemia dan lain-lain).
Pada masa itu, hubungan antara Kekaisaran Habsburg dan Vatican kerap tegang, terutama terkait pengaruh negara terhadap gereja (contohnya, kebijakan Josephinisme oleh putranya, Kaisar Joseph II, yang berupaya membatasi kuasa Paus di wilayah Kekaisaran).
Ratu Bavaria
Bavaria adalah kerajaan Katolik di Jerman selatan dan memiliki hubungan erat dengan gereja. Namun, kerajaan ini dihapuskan pada 1918 setelah Perang Dunia I.
Sebelum itu, tidak tercatat ada penggunaan Privilege du Blanc secara formal, mungkin karena posisi kerajaan ini tidak dianggap sebagai "pelindung Gereja Katolik" sekuat kerajaan Spanyol atau Perancis atau Portugal, dan karena protokol ini belum terbakukan secara universal pada masa itu.
Ratu Perancis (Sebelum Revolusi Perancis 1789)
Ratu-ratu Perancis seperti Marie Leszczynska (istri Louis XV) dan Marie Antoinette (istri Louis XVI) adalah permaisuri Katolik dari negara yang mendapat gelar kehormatan "fille ainee de l'Eglise" (Putri Tertua Gereja), yaitu Perancis, yang selama berabad-abad disebut sebagai "anak sulung Gereja Katolik".
Meskipun Perancis punya posisi religius tinggi, adat istana dan relasi formal mereka dengan Vatican berbeda dari Spanyol. Perancis lebih sering menekankan kedaulatan raja atas gereja nasionalnya (Galikanisme), sehingga protokol Vatican tidak otomatis mengadopsi permaisuri Perancis ke dalam hak istimewa tersebut.
Sebagian besar ratu Perancis tidak sering tampil dalam audiensi pribadi dengan Paus dalam konteks formal seperti yang dilakukan permaisuri Spanyol atau Belgia di era modern.
Ratu Italia
Italia telah menjadi republik sejak tanggal 2 Juni 1946, dan oleh karenanya tidak lagi memiliki Ratu. Tetapi Putri Napoli, istri kepala keluarga Dinasti Savoy meneruskan hak istimewa ini.Â
Polandia adalah negara Katolik yang sangat taat. Namun, sejak akhir abad ke-18, kerajaan Polandia kehilangan kemerdekaannya akibat pembagian (partisi) oleh Russia, Austria, dan Prussia.
Karena itu, sejak saat iu tidak ada permaisuri resmi Katolik yang aktif saat protokol Privilege du Blanc mulai diformalkan, sehingga tidak diterapkan.
Ratu Portugal
Tidak tercatat secara resmi sebagai pemegang privilege du blanc, meskipun mereka secara teologis dan diplomatik sangat dekat dengan Vatican. Kerajaan Portugal memang sangat Katolik dan menjadi penjaga agama di banyak koloni dunia. Namun, tidak ada dokumentasi bahwa para ratu atau permaisurinya secara eksplisit mengenakan busana putih dalam audiensi Paus.
Hal ini karena:
- tradisi privilege du blanc masih sangat tidak formal pada masa itu, dan belum terdokumentasi sebagai protokol yang jelas
- belum ada standar seremonial Vatican seperti abad ke-20
- dan juga karena kerajaan ini runtuh sebelum Vatican menetapkan secara eksplisit daftar monarki penerima hak tersebut, yakni baru jelas terlihat sejak abad ke-20.
Grand Duchess Lithuania
Lithuania pernah bersatu dengan Polandia dalam Persemakmuran Polandia-Lithuania. Lithuania menjadi mayoritas Katolik, tetapi setelah pembubaran persemakmuran (1795), status kenegaraan mereka hilang, dan tidak ada rumah kerajaan aktif untuk menjalankan protokol istana.
Maka, sejak saat itu tidak ada akses diplomatik resmi sebagai monarki yang dapat dikukuhkan oleh Vatican.
Siapa yang Menggunakannya dan Siapa yang Tidak
Beberapa pemegang privilege ini memang memanfaatkannya saat audiensi dengan Paus, seperti Ratu Sofia dari Spanyol dan Putri Charlene dari Monaco. Namun, ada pula yang memilih tidak mengenakannya meskipun berhak, sebagai bentuk pilihan pribadi, kesederhanaan, atau karena pertimbangan diplomatik.
Contohnya, Ratu Paola dari Belgia beberapa kali tampil dengan busana hitam seperti lazimnya, menunjukkan bahwa privilege ini bersifat opsional, bukan keharusan, walaupun ia juga sering menggunakan hak istimewa ini.
Masa Kini dan Relevansi Kontemporer
Di era modern, Privilege du Blanc masih dipertahankan, tetapi lebih sebagai simbol kehormatan dan tradisi daripada sebagai penegasan status kekuasaan. Dalam masyarakat yang semakin egaliter dan plural, hak istimewa ini menimbulkan diskusi menarik tentang peran simbol dan tradisi dalam institusi religius.
Pemegang hak istimewa ini di abad XXI ini adalah:
- Ratu atau Permaisuri Spanyol
- Ratu atau Permaisuri Belgia
- Grand Duchess atau Permaisuri Luxembourg
- Putri Napoli (istri kepala keluarga Dinasti Savoy dari Italia)
- Permaisuri Monaco (diberikan baru-baru saja sejak tahun 2013 oleh Paus Franciscus)
Dan dalam praktek, pemegang hak istimiewa ini adalah:
- Ratu Sofia dari Spanyol
- Ratu Letizia dari Spanyol
- Ratu Paola dari Belgia
- Ratu Mathilde dari Belgia
- Grand Duchess Maria Teresa dari Luxmbourg
- Putri Marina Doria, Putri Napoli
- Putri Charlene dari Monaco
Ratu Belanda, Ratu Lesotho dan Permaisuri Liechtenstein
Ratu Maxima dari Belanda, sekalipun beragama Katolik, tetapi dia adalah Permaisuri dari Raja Willem-Alexander yang Protestant dari Negara Belanda yang secara tradisi juga Protestant.
Permaisuri Liechtenstein, almarhumah Putri Marie Kinsky dan para pendahulunya, tidak diberikan hak istimewa ini karena, sekalipun (i) bergama Katolik, (ii) istri dari kepala negara bermahkota (Pangeran) yang beragama Katolik, (iii) suaminya memimpin negara yang dominan Katolik, dan (iv) negaranya terletak di benua Eropa, akan tetapi Liechtenstein bukan negara yang berpredikat sebagai pelindung Gereja Katolik.
Apakah Masih Relevan?
Apakah privilege ini masih relevan? Pertanyaan ini membuka refleksi lebih luas tentang bagaimana institusi kuno seperti Vatican terus berdialog dengan dunia modern. Privilege du Blanc, dengan segala simbolismenya, mengingatkan kita bahwa tradisi tidak harus dihapuskan untuk menjadi kontemporer, tetapi cukup dimaknai ulang.
Privilege du blanc bukan hanya soal gaun putih. Ia adalah kisah tentang kepercayaan, sejarah, diplomasi, dan makna simbolik dalam hubungan antara spiritualitas dan kekuasaan. Ia adalah warisan tradisi yang membuka ruang dialog antara masa lalu dan masa kini, antara protokol dan pilihan pribadi, antara iman dan identitas kultural.
Misa Inaugurasi Paus Leo XIV
Tradisi dan protokol privilege du blanc berpotensi diterapkan dalam Misa Inaugurasi Paus yang baru, namun tidak wajib digunakan, tergantung pada kehadiran dan keputusan pribadi dari para perempuan yang memang memiliki hak tersebut.
- Misa Inaugurasi Paus adalah momen liturgi paling khidmat dalam Gereja Katolik setelah pemilihan Paus. Ini adalah peristiwa yang sangat protokoler dan terbuka untuk simbolisme tinggi, termasuk kehadiran kepala negara Katolik dan bangsawan Katolik.
- Jika Ratu atau Permaisuri dari monarki Eropa Katolik hadir, seperti Ratu Spanyol, Ratu Belgia, atau istri Grand Duke Luksemburg, maka mereka memiliki hak menggunakan busana putih (gaun putih dan veil putih atau mantilla putih) berdasarkan tradisi privilege du blanc.
Apakah Relevan di Era Paus Leo XIV?
Paus baru kerap memberi sinyal gaya kepemimpinannya dalam acara inaugurasi. Jika Paus Leo XIV menunjukkan preferensi pada kesederhanaan atau simbolisme tradisional, kemungkinan pemanfaatan privilege du blanc akan lebih menonjol, tidak hanya sebagai warisan tradisi, tetapi juga sebagai penghormatan terhadap sejarah hubungan Vatican dan monarki Katolik.
Sebaliknya, jika gaya kepemimpinan beliau mengarah pada penyederhanaan liturgi dan penekanan pada inklusivitas, maka penggunaan privilege du blanc bisa lebih direduksi secara simbolik.
Mari kita nantikan Misa Inaugurasi Paus Leo XIV.
Jakarta, 16 Mei 2025
Prahasto W. Pamungkas
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI