Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Baduy, Keterbukaan Sekaligus Ketertutupannya

31 Maret 2016   22:37 Diperbarui: 31 Maret 2016   23:08 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berpakaian hitam atau putih kusam, jauh dari warna-warni nan necis orang kota. Alih-alih topi, ikat kepala khas lah yang terpasang. Tanpa alas kaki dan membawa gembolan, terkadang melintas di trotoar ibu kota atau berteduh di rimbun pohon jalan sambil menjajakan madu, hasil kebun dan pertanian. Ciri yang bagi sebagian orang kota akan memancing pandang sejenak untuk berpendapat “orang aneh”. Mungkin tak sedikit pula yang takut dan menjauh. Padahal mereka hanya berbeda, dan perbedaan suku di negeri ini adalah suatu keniscayaan untuk dirayakan. Bukan keanehan apalagi ketakutan.[caption caption="Selamat Datang di Baduy (Dok. Pribadi)"][/caption]

Tapi itu bagi yang tidak tahu. Bagi yang tahu, saat melihat mereka, tentu tidak akan heran. Karena ciri itu adalah ciri masyarakat Baduy yang tinggal di daerah Kanekes, Lebak, Banten. Dikenal dengan sebutan orang Baduy atau Urang Kanekes, mereka hidup mandiri dengan hasil hutan, kebun, dan sawah mereka sendiri. Dan bagi saya, berpapasan dengan mereka membawa ingatan pada ketenangan malam yang hadir saat saya berada di tengah-tengah mereka.

Alam yang masih lestari, kekhasan budaya, pola hidup terisolasi dari dunia luar, dan contoh nyata keragaman suku di Indonesia, menjadi alasan saya berada di kereta api Kalimaya yang mengawali perjalanan dari Stasiun Tanah Abang menuju Stasiun Rangkasbitung. Disambung dengan kendaraan elf dari Stasiun Rangkasbitung jurusan desa Ciboleger, barulah dua jam kemudian saya tiba di sebuah pintu masuk desa dengan patung sebuah keluarga beranak dua. Inilah pintu masuk menuju Baduy. Berbagai kerajinan bertemakan Baduy banyak dijual di warung-warung. Meski ternyata sebagian besar bukanlah buatan orang-orang Baduy.

Baduy Luar

Sore yang agak mendung menjadikan teras rumah Pak Syarif, warga Baduy Luar yang saya singgahi, terasa menyenangkan. Bocah-bocah berlarian membawa semacam kincir angin kecil di tangannya. Ibu-ibu mengobrol. Tak jarang rombongan wisatawan melintas dan menyapa. Dan sesekali terdengar suara gemuruh seperti guntur. Pak Syarif mengatakan, itu adalah suara kincir angin dari bambu yang besar dan tinggi. Suaranya memang bergemuruh saat angin kencang bertiup.

Selalu ada kehangatan ketika saya mengunjungi warga-warga desa. Tak terkecuali dari warga Baduy. Sambil menikmati suguhan teh hangat, saya berbincang dengan Pak Syarif tentang kehidupan masyarakat Baduy Luar yang tampak sudah modern. Ya, sebelum berkunjung pun saya sudah berhubungan dengan Pak Syarif via ponsel. Sambil mengamati warung dengan jajanan layaknya warung biasa, pakaian biasa yang mereka kenakan, dan beberapa anak muda yang asyik memainkan ponsel mereka, obrolan kami mengalir seperti sebuah keluarga. Yang nampak berbeda yaitu rumah mereka yang berbahan dasar kayu dan bambu yang beratap ijuk.

[caption caption="Ibu-ibu Sedang Membuat Kain Tenun (Dok. Pribadi)"]

[/caption]

Bagi masyarakat Baduy Luar, yang paling dekat dengan perbatasan desa, kehidupan modern dari luar lambat laun mereka serap. Namun, bukan kehidupan modern yang sarat dengan materialistis tinggi. Mereka memanfaatkannya sebagai sebuah kebutuhan, bukan demi kemewahan. Baduy sebagai salah satu ikon wisata Banten tentu butuh orang yang mampu mengelola. Pak Syarif dan warga Baduy perbatasan lain menjadi “penyambut” bagi para wisatawan dan “penjual” Baduy ke luar daerah. Mereka menyediakan jasa pemandu untuk berkeliling kampung atau menuju Baduy Dalam. Dari mereka pulalah wisatawan bisa mendapatkan tempat singgah. 

Selain itu warga Baduy Luar juga berjualan pernak pernik, hasil mentah atau olahan kebun mereka, dan kain tenun yang dikerjakan oleh ibu-ibu dengan alat tenun manual sejak pagi hingga siang hari. Untuk mendapatkan benang, tentu mereka harus membeli dari luar desa. Walaupun tak setenar Ulos dari Batak atau Songket dari Minang, tenun Baduy memiliki pasar sendiri dan tak jarang hadir dalam acara-acara pameran hasil kerajinan daerah. 

Satu hal lagi yang unik dari desa Baduy Luar, beberapa warganya memiliki ponsel meskipun desa ini tidak ada listrik. Sehingga bagi yang memiliki ponsel, untuk mengisi ulang baterai mereka pergi ke pos kampling di luar desa. Termasuk menonton televisi bersama-sama warga di luar Baduy. Kebersamaan yang langka di kota.

Itulah modernisasi yang mereka manfaatkan. Mereka tetap hidup sederhana, bersahaja, dan hangat bagi pengunjung. Memanfaatkan modernisasi untuk tetap menjaga kampung Baduy tetap nyaman dan menyenangkan untuk dikunjungi.  Sedikit imbalan materi bagi mereka tidak akan sesegan membayar jasa tour guide dari luar desa yang hasilnya tentu bukan untuk kepentingan orang Baduy.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun