"Nama adalah doa." Kalimat tersebut barangkali sudah terlalu sering kita dengar, bahkan sejak masih anak-anak. Namun, tidak semua orang benar-benar menyadari bahwa nama juga bisa menjadi kompas hidup, penanda arah dalam menghadapi perjalanan panjang bernama kehidupan.
Saya diberi nama Syarif Hidayatullah, dan sejak kecil saya tahu nama ini bukan sekadar kombinasi dari dua kata Arab. Nama ini membawa makna, harapan, sekaligus warisan sejarah. Ia adalah identitas yang menempel seumur hidup, dan saya merasa perlu untuk benar-benar memahami serta menjalaninya dengan sebaik mungkin.
Makna Nama: Lebih dari Sekadar Sebutan
Nama Syarif secara harfiah berarti mulia, terhormat. Ia menyiratkan martabat dan keluhuran akhlak. Sementara Hidayatullah berarti petunjuk dari Allah. Digabungkan, nama ini seakan menjadi kalimat doa: "Semoga menjadi pribadi mulia yang selalu berada dalam petunjuk Allah."
Tentu saja, tak ada manusia yang sempurna. Tapi saat menyadari bahwa nama ini adalah harapan orang tua sekaligus pengingat spiritual, saya mulai memandangnya dengan lebih serius. Terlebih lagi, nama ini juga merupakan nama asli salah satu tokoh besar dalam sejarah Islam di Nusantara: Sunan Gunung Jati.
Mengenal Sosok di Balik Nama
Sejak kecil, saya tahu bahwa nama saya sama dengan nama asli Sunan Gunung Jati. Bapak saya pernah bercerita tentang itu, sambil menyisipkan pesan agar saya kelak bisa menjadi orang yang bermanfaat. Tapi jujur saja, saya baru benar-benar mencari tahu siapa Sunan Gunung Jati ketika duduk di depan meja pembuatan SIM C, dan petugas menyebut nama saya sambil mengangguk pelan, seolah mengenali sesuatu.
Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari Wali Songo, penyebar Islam di tanah Jawa. Ia dikenal bukan hanya sebagai ulama, tetapi juga sebagai negarawan. Beliau mendirikan Kesultanan Cirebon, memperluas pengaruh Islam melalui pendekatan budaya dan diplomasi, bukan kekerasan. Ia sosok yang santun, lembut, namun tegas dalam prinsip.
Menyadari hal itu, saya mulai merasa bahwa memikul nama ini bukan hanya kebanggaan, tetapi juga tanggung jawab yang tak kecil. Jika saya tak mampu mewarisi ilmunya, minimal saya bisa meneladani akhlaknya.
Tidak Harus Menjadi Ulama, Tapi Harus Menjaga Etika
Pertanyaan yang sering muncul di benak saya adalah: Apakah semua yang bernama Syarif Hidayatullah harus jadi ulama? Haruskah bisa ceramah, hafal kitab, atau minimal hafal 30 juz? Jawabannya: tidak harus. Tapi apakah harus hidup dengan menjaga nilai-nilai mulia? Jawabannya: iya.
Saya pernah bertemu tukang kupat tahu bernama Syarif Hidayatullah. Hidupnya sederhana, selalu menyapa dengan ramah, dan tentunya rasa kupat tahu yang dia buat itu enak. Saya juga pernah berkenalan dengan kurir restoran iga bakar bernama sama. Ia membantu saya ketika motor saya mogok di jalan saat malam hari sepulang kerja, menolak diberi imbalan, dan berkata, "Saya cuma suka bantu orang, kebetulan tadi melihat akang."
Dari mereka, saya belajar bahwa menjadi Syarif Hidayatullah sejati bukan soal jabatan atau status sosial, melainkan soal akhlak, integritas, dan komitmen terhadap kebaikan.