Oleh Johnson Dongoran
Di pedesaan Jawa Tengah, pada setiap musim buah, ada kebiasaan mencari buah di bawah pohon buah orang lain pada pagi hari sebelum fajar. Kebiasaan ini dikenal dengan istilah “gogrokan”. Kebiasaan serupa di daerah Tapanuli di Sumatera Utara, dikenal dengan istilah “marsoru”.
Orang biasanya membawa lampu obor ketika gogrokan. Karena subuh hari masih dingin, orang juga biasa memakai kain sarung sebagai penambah lapis pakaian untuk menghangatkan badan. Kalau kebun buah bersih, mudah bagi penduduk memungut buah yang jatuh. Namun kalau kebun tidak bersih, banyak rumput di bawah pohon, maka penduduk biasanya menggunakan kaki atau sepotong kayu semacam tongkat untuk digunakan mencari buah di sela-sela rumput di bawah pohon buah.
Dalam situasi seperti ini, penduduk biasanya berbagi dengan sesama yang mendapat buah dalam jumlah sedikit. Kebersamaan muncul di antara yang ikut gogrokan karena merasa senasib dan sepenanggungan, tidak perlu ada rasa malu satu sama lain, karena memiliki situasi hidup yang relatif sama.
Dalam tradisi atau kebiasaan gogrokan, buah yang jatuh dari pohon adalah hak orang miskin yang tidak memiliki pohon buah. Dengan begitu, kebiasaan gogrokan memunculkan rasa syukur karena ada kesempatan menikmati buah dari kebun orang lain, yang tidak mungkin mereka nikmati karena tidak memiliki cukup uang untuk membeli buah.
Bersyukur atas kebaikan pemilik buah yang bersedia mengikuti kebiasaan yang tercipta dari kearifan nenek moyang di masa lalu. Kearifan setempat (local wisdom) seperti ini menjaga keharmonisan masyarakat antara orang kaya yang memiliki pohon buah dengan orang tidak punya. Kearifan setempat beerupa gogrokan merupakan cara berbagi antara anggota masyarakat yang cukup beruntung dengan yang kurang beruntung dalam hidup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI