Mohon tunggu...
Johnson K.S. Dongoran
Johnson K.S. Dongoran Mohon Tunggu...

Lahir dalam keluarga Kristen dari suku Batak di Tapanuli Selatan Sumatera Utara, masih muda merantau di Pulau Jawa. menikah dengan gadis Bali dan dikaruniai tiga orang anak. Kini bekerja sebagai dosen di UKSW dan tinggal di kota Salatiga. Prinsip hidup pribadi: Setiap hari ergaul akrab denan Tuhan; menambah dan memperkental persahabatan dengan sesama; menambah ilmu dan keterampilan; menghasilkan sesuatu yang berguna bagi banyak orang; berkeringat; bekerja berdasarkan prioritas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gogrokan

27 Mei 2013   05:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:59 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh Johnson Dongoran

Di pedesaan Jawa Tengah, pada setiap musim buah, ada kebiasaan mencari buah di bawah pohon buah orang lain pada pagi hari sebelum fajar. Kebiasaan ini dikenal dengan istilah “gogrokan”. Kebiasaan serupa di daerah Tapanuli di Sumatera Utara, dikenal dengan istilah “marsoru”.

Orang biasanya membawa lampu obor ketika gogrokan. Karena subuh hari masih dingin, orang juga biasa memakai kain sarung sebagai penambah lapis pakaian untuk menghangatkan badan. Kalau kebun buah bersih, mudah bagi penduduk memungut buah yang jatuh. Namun kalau kebun tidak bersih, banyak rumput di bawah pohon, maka penduduk biasanya menggunakan kaki atau sepotong kayu semacam tongkat untuk digunakan mencari buah di sela-sela rumput di bawah pohon buah.

Dalam situasi seperti ini, penduduk biasanya berbagi dengan sesama yang mendapat buah dalam jumlah sedikit. Kebersamaan muncul di antara yang ikut gogrokan karena merasa senasib dan sepenanggungan, tidak perlu ada rasa malu satu sama lain, karena memiliki situasi hidup yang relatif sama.

Dalam tradisi atau kebiasaan gogrokan, buah yang jatuh dari pohon adalah hak orang miskin yang tidak memiliki pohon buah. Dengan begitu, kebiasaan gogrokan memunculkan rasa syukur karena ada kesempatan menikmati buah dari kebun orang lain, yang tidak mungkin mereka nikmati karena tidak memiliki cukup uang untuk membeli buah.

Bersyukur atas kebaikan pemilik buah yang bersedia mengikuti kebiasaan yang tercipta dari kearifan nenek moyang di masa lalu. Kearifan setempat (local wisdom) seperti ini menjaga keharmonisan masyarakat antara orang kaya yang memiliki pohon buah dengan orang tidak punya. Kearifan setempat beerupa gogrokan merupakan cara berbagi antara anggota masyarakat yang cukup beruntung dengan yang kurang beruntung dalam hidup.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun