Mohon tunggu...
kholil arrahman
kholil arrahman Mohon Tunggu... -

sejak sma tinggal di jogja, sekarang pns di jogja.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bab I

30 Agustus 2010   08:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:36 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pohon jati mulai meranggas, waktu itu siang tanggal satu pada bulan juli. udara panas menyambut kami di pendopo kecamatan yang masih lengang. setelah kami turun dari bis kopata yang membawa kami dari kampus sejak pagi masih dingin, kami disambut pak camat, seorang lelaki sederhana dengan seragam korpri, kopiah hitam dan didampingi oleh staf kecamatan yang ikut menyambut kami. kami mengulurkan tangan dan mulai memenuhi kursi yang telah disiapkan untuk kami. kursi besi warna hijau yang di beberapa bagian mulai berkarat dan jika kami geser terdengar bunyi derit yang menimbulkan bunyi gaduh di ruang yang tidak terlalu luas ini. kami duduk menghadap 3 meja yang dibariskan menjadi satu, disana pak camat serta para stafnya duduk, diujungnya duduk dosen kami yang masih muda tentu tanpa seragam korpri, hanya berjas biasa untuk membedakan dengan jas almamater kami. acara dimulai oleh staf pak camat, seorang wanita yang memiliki suara yang agak berat tapi berwibawa, mengingatkan pada suara penyanyi campur sari yang sering diputar oleh teman kami dikos. wanita tersebut mengawali dengan ucapan selamat datang dalam bahasa jawa kemudian dilanjutkan kepada acara seremonial kami hari ini. setelah selesai bicara, wanita tersebut mempersilakan pak camat untuk maju dan memberikan sepatah kata untuk kata sambutan.

"Kalian sebagai generasi muda bangsa ini, jangan kaget dan jangan putus asa dengan keadaan wilayah kami" dia mengawali kata sambutannya dengan suara yang agak ringan dan disertai senyum yang tampak tak pernah lepas dari wajahnya. hanya lima menit pak camat memberi semacam bekal bagi kami untuk selalu tabah, apalagi ini adalah musim kemarau. pada musim ini kami akan kesulitan untuk mendapatkan air bersih, jadi kalau kami menginginkan untuk mandi sekali sehari saja, kami harus urunan untuk membeli air. daerah yang kami tempati ini adalah daerah di pegunungan kapur, yang untuk mencukupi kebutuhan airnya biasanya penduduk sekitar sini menampung air hujan dengan tempat yang luas. makanya di rumah-rumah yang kami temui ada banyak tandon air yang banyak. mereka membangun semacam bak air yang panjang dan luas, awalnya kami mengira itu adalah kolam untuk budidaya ikan. tapi ternyata itu adalah simpanan bagi air jika hujan tidak turun. jadi salah satu nasihat yang kami terima adalah, supaya menghemat air, kalau bisa, mandi cukup dihari jumat saja, karena disini air adalah sebuah kekayaan yang berharga. jadi aktifitas mandi adalah sebuah kemewahan. setelah acara seremonial selesai, kami langsung menuju desa yang telah ditentukan. masing-masing kelompok terdiri dari enam orang untuk ditempatkan di satu desa yang kemudian dikoordinasi oleh seorang ketua. berenam kami ditempatkan disebuah desa yang agak jauh dari ibukota kecamatan. masih membutuhkan waktu satu jam lagi untuk sampai ketempat kami akan menghabiskan waktu dua bulan kami disini.

Matahari hampir tidak kelihatan lagi, ketika kami sampai di rumah pak dukuh. disini kami langsung disambut oleh bu dukuh, karena sejak dikantor kecamatan tadi kami sebetulnya telah bertemu dan ternyata pak dukuh telah mengikuti bus kami dari belakang. karena kami adalah orang-orang asing bagi penduduk desa tersebut, maka banyak dari para tetangga pak dukuh yang keluar dan menyapa kami dengan ramah. "oh...mas kkn toh, sugeng rawuh. nggih mung ngeten ndeso niku, mboten wonten nopo-nopo. monggo di kecake' rumiyin". kami hanya saling melempar senyum, hanya ketua kelompok kami, iwan namanya yang membalas pembicaraan mereka. kami hanya ikut mengucap nggih...nggih....dan senyum. kami tidak menyangka begitu heboh sambutan yang kami terima, ada banyak anak-anak usia sd yang juga ikut menyambut kami dihalaman rumah pak dukuh. karena hari mulai agak malam dan kami sudah cukup seharian ini belum makan maka kami mulai agak gelisah. pak Dukuh yang ikut membantu kami mengobrol dengan para warganya mulai bisa membaca bahasa tubuh kami. dengan gaya bicara yang berwibawa, pak dukuh mempersilakan para warga untuk kembali kerumah masing-masing untuk memberi waktu bagi kami untuk beristirahat. akhirnya setelah para warga pulang, kami dipersilakan oleh pak dukuh untuk istirahat dan sholat. kami ditempatkan di kamar yang terpisah. para wanita di kamar sebelah yang sebelumnya adalah kamar pak dukuh (sambil mengantar kami, pak dukuh berbicara tanpa bisa kami potong) dan kami ditempatkan disebelahnya. Sebetulnya dua kamar ini hanya ruang yang panjang yang hanya diberi sekat kayu bekas pintu setinggi 2 meter padahal ruang ini memiliki tinggi sekitar 4 meter sampai atas, karena tidak eternitnya sehingga kalau memandang atas langsung genting. Karena kamar kami hanya bersebelahan dan hanya terpisah sekat kayu maka kami masih ngobrol atau melempar sesuatu…….


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun