Mohon tunggu...
Ponco Dwi Putra
Ponco Dwi Putra Mohon Tunggu... Lainnya - Bunga Barah

Yang terus belajar dalam pelbagai diskusi, yang terus mencari akan sebuah arti, yang…

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bersembunyi di Balik Ketiak Ibu, Menyikapi Pembelajaran di Rumah

23 Juni 2020   12:34 Diperbarui: 23 Juni 2020   12:38 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dewasa ini, masa-masa paceklik lambat laun kian mencekik. Bukan hanya industri, ekonomi, namun juga pendidikan. Semua kebiasaan-kebiasaan berubah hampir 180`(barangkali). Termasuk pendidikan, dimana sistem belajar mengajar yang biasanya dibaluti tawa canda teman-teman sejawat, kini hanya dibaluti gerutu ibu. Ya, gerutu ibu.

Pada fenomena ini saya mencoba memotret dan menceritakannya lewat ujaran tulisan. Dimana pembelajaran jarak jauh ini hanya dianggap sebagai syarat agar ada kegiatan tanpa mempertimbangkan bekal apa yang akan di dapat muridnya. Memang, jika berbicara manfaat, tentu saja banyak manfaatnya, tapi lagi-lagi semua tergantung kepada si anak dan orang tuanya.
Objek pada penulisan ini adalah ponakan saya sendiri yang masih mengenyam bangku sekolah dasar pun teman-teman di sekitar rumah.

Sebagaimana seorang anak-anak yang katanya memiliki kodrat lebih banyak bermain, maka pada keadaan seperti ini mereka di tuntut untuk lebih serius -- karena takut di marahi ibunya yang biasanya hanya mementingkan pekerjaannya dan lupa untuk mendidik anaknya. 

Ketika keadaan berubah dan memaksa si Ibu untuk menjadi guru dari anaknya maka yang terjadi adalah batiniah dari si anak karena di marahi, dan iba dari si Ibu, yang pada akhirnya mengerjakan tugas-tugas anaknya -- karena tidak ingin di bebani dengan pikiran-pikiran yang rumit ketika mengajarkan si anak. Walhasil inilah yang menjadi rujukan dalam mencantumkan judul diatas.

Kemudian pertanyaan-pertanyaan nyeleneh muncul dalam benak saya, bagaimana beban moril dari si guru, ibu, bahkan anaknya sekalipun? Ketika menyikapi pembelajaran jarak jauh, yang hanya dianggap sebagai syarat untuk mengisi nilai-nilai yang congkak karena tak ada kegiatan di sekolah? 

Bagaimana guru harus atau di paksa bahkan di tuntut untuk kreatif dengan memanfaatkan keajaiban-keajaiban di sekitarnya agar si murid tetap berlaku produktif, sedangkan murid harus di paksa produktif walaupun dia bingung harus bagaimana mengerjakannya karena si Guru belum menjelaskan, lantas membebankannya pada pundak si Ibu yang kerap mencak-mencak karena kebingungan dan malu untuk mengakui kalau dirinya tidak bisa mengerjakan, dan pada akhirnya semua keresehan itu terus berputar dalam circle yang sama dan terus mencari arti.

Kecarut-marutan ini setidaknya yang kurang lebih saya dapati ketika memotret pembelajaran jarak jauh ponakan saya. Dimana tugas-tugasnya hanya sebagai pelipur lara dari sela-sela kekosongan. Tugas-tugas yang bersifat mengembangkan imajinasinya berulang kali di suguhkan, walaupun pada akhirnya adalah ibu atau orang lain yang mengerjakannya, dan si anak hanya memandangi, sekali-kali mecoba -- hanya untuk di abadikan dalam lensa kamera untuk laporan ke gurunya. Walhasil apa, yang didapati ponakan saya berbanding jauh dengan apa yang seharusnya ia lakoni.

Sejatinya itu bukan salah siapa-siapa, ketika guru dianggap tidak modern karena dianggap tidak memanfaatkan teknologi, maka batasan masalahnya adalah seberapa banyak anak-anak atau ibunya yang cakap bermain teknologi? Atau seberapa luas jangkauan para murid untuk mengakses hal-hal yang berbau pendidikan? Walaupun tak dapat di pungkiri jika anak-anak sekarang tak luput dari handphone, namun tak dapat di pungkiri juga jika kegiatannya hanya di baluti game semata. 

Atau ketika menyalahkan orang tua yang dianggap lalai dan tidak becus dalam mendidik, maka batasan masalahnya adalah seberapa banyak orang tua yang sering tinggal dirumah karena dirasa kebutuhannya cukup? saya rasa dunia memang telah banyak memperbudak kita hingga pada akhirnya serasa di cocok hidungnya dan manut akan dunia. 

Maupun ketika menyalahkan anak yang dianggap malas-malasan, maka batasan masalahnya adalah bagaimana mindset anak-anak bahwa ketika dirumah adalah waktunya main dan bersosialisasi bersama rekannya, namun dipaksa berubah karena menyikapi pandemi dengan mengubah kebiasaan bahwa di rumah waktunya belajar. 

Ya walaupun, tanpa terkecuali sebagian anak biasanya juga belajar di rumah ketika waktu malam hari (biasanya) tiba. Tapi yang menjadi garis utamanya adalah ketika waktu pagi hari dengan kebiasaan pembelajaran di sekolah. Jadi wajar saja kalau anak butuh adaptasi dengan kebiasaan barunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun