Kepercayaan pada hantu telah menjadi bagian dari kebudayaan manusia sejak zaman kuno. Cerita tentang roh gentayangan, jiwa yang tak tenang, atau arwah yang menghantui tempat tertentu muncul hampir di setiap budaya. Namun, keberadaan hantu dapat dipertanyakan secara rasional, etis, dan epistemologis.
Pertama, dari sisi rasionalitas, keyakinan seharusnya didasarkan pada alasan dan bukti yang dapat diverifikasi. Hantu, sebagai entitas supranatural, tidak pernah dapat dibuktikan secara empiris. Pengalaman "melihat" atau "merasakan" hantu seringkali bersifat subjektif, dipengaruhi ketakutan, sugesti, atau fenomena psikologis seperti pareidolia dan halusinasi. Oleh karena itu, menerima keberadaan hantu tanpa bukti empiris bertentangan dengan prinsip rasionalitas dan logika yang diajarkan filsuf seperti Descartes dan Kant.
Kedua, dari sisi etika dan psikologi, kepercayaan pada hantu dapat berdampak negatif. Ketakutan yang timbul dari kepercayaan semacam ini dapat menimbulkan kecemasan, stres, dan keputusan yang irasional. Para filsuf eksistensialis, seperti Jean-Paul Sartre, menekankan bahwa manusia bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Mengalihkan ketakutan dan tanggung jawab pada makhluk tak kasat mata mengurangi kontrol individu terhadap hidupnya serta menghambat kemampuan berpikir kritis dan menghadapi realitas secara objektif.
Ketiga, secara ontologis, pengetahuan manusia sebaiknya didasarkan pada realitas yang dapat diamati dan dibuktikan. Aristoteles menekankan prinsip sebab-akibat dalam memahami dunia; sesuatu yang tidak dapat dijelaskan secara rasional dianggap berada di luar lingkup pengetahuan. Hantu, yang muncul dan hilang tanpa konsistensi atau aturan, melanggar prinsip ini. Mempercayai hal-hal yang tidak dapat diuji secara logis berarti menempatkan keyakinan pada ranah spekulasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan demikian, manusia sebaiknya mengembangkan kebijaksanaan melalui akal. Mengandalkan ketakutan atau cerita rakyat untuk membentuk pandangan dunia menjauhkan manusia dari kebenaran yang dapat diuji dan dibuktikan. Skeptisisme filsafat, seperti yang diajarkan Pyrrho dan Hume, menyarankan agar manusia menahan diri dari kepercayaan tanpa dasar yang kuat. Menolak keberadaan hantu merupakan langkah menuju kehidupan yang lebih rasional, tenang, dan bertanggung jawab.
Kesimpulannya, manusia sebaiknya tidak mempercayai hantu. Keyakinan tanpa bukti, ketakutan yang tidak rasional, dan ontologi yang tidak konsisten membuat kepercayaan ini lebih berbahaya daripada bermanfaat. Sebaliknya, manusia harus berpikir kritis, membangun kehidupan berdasarkan akal, dan menghadapi dunia sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang dibayangkan oleh mitos --- agar tak terciderai logikanya dan berdiri sebagai manusia jujur. ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI