Mohon tunggu...
David Olin
David Olin Mohon Tunggu... Pustakawan - Belum terlambat aku mencintai-Mu

Setiap kali menatap mentari, bulan selalu mendapat cahaya baru (IG: @david.usolin.sdb) Note: Semua tulisan dalam platform ini dibuat atas nama pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sekelumit Perbandingan Relasi Intersubjektif Martin Buber dan Emmanuel Levinas

26 April 2022   08:00 Diperbarui: 26 April 2022   08:04 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kedua filsuf ini tidak bisa dilepaskan dari komunitas Yahudi yang berpegang pada tradisi tertentu. Komunitas Buber berbeda dengan Levinas. Karena itu, tekanan pada pemikiran mereka juga berbeda. Buber tinggal di dalam komunitas yang memegang teguh loyalitas terhadap tradisi dan guru (pengajar). Karena itu, “yang lain” sebisa mungkin direngkuh menjadi bagian dari komunitasku supaya mendapat pembinaan menjadi manusia yang utuh.

 Menurut Buber, relasi antar manusia itu dinamakan relasi Ich-Du. Kedua kata ini adalah satu kesatuan. Saya tidak bisa ditempatkan di luar relasi. Pada mulanya adalah relasi. Relasi ini disebut Perjumpaan dan bersifat spontan, menerima dan melihat orang lain sebagai subjek. Relasi itu juga bersifat terbuka dan timbal balik.

Di samping itu, manusia mudah sekali jatuh ke dalam relasi Ich-Es. Relasi ini sedianya terjadi antara manusia dengan yang bukan manusia. Ciri relasi seperti ini adalah Pengalaman. Aku melihat yang lain sebagai objek, sarana, dan sesuai dengan kepentinganku.

Emmanuel Levinas mengkritik pemikiran Buber. Baginya, Aku sama sekali berbeda dengan Engkau. Menurut Levinas, pada mulanya adalah tanggung jawab. Di hadapan penampakan wajah orang lain, aku dipanggil untuk bertanggungjawab. Jika Martin Buber melihat bahwa relasi antar pribadi ditandai dengan pengenalan/jasa, Levinas berpendapat bahwa tanggung jawab itu bersifat cuma-cuma. Dengan demikian, etika menjadi filsafat pertama dan bersifat ontologis.

Kendati berbeda, pemikiran kedua filsuf Yahudi itu masih memiliki tekanan terhadap adanya relasi dengan Yang Absolut. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari religiositas mereka sebagai orang Yahudi.

Sebagai pembanding, pemikiran Martin Heidegger itu berbeda sama sekali. Ia melihat manusia sebagai Dasein yang terlempar begitu saja ke dalam dunia. Manusia itu egois dan sendirian. Di sampingnya ada das man, manusia yang tidak otentik dan impersonal. Dasein berusaha untuk mencapai kepenuhan potensi dirinya lewat persaingan atau perlombaan yang bersifat positif. Orang lain ikut dalam proyek pengembangan diriku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun