Belakangan publik heboh dengan kabar sejumlah anggota DPR RI yang dinyatakan nonaktif oleh partai politiknya. Istilah ini langsung jadi bahan perbincangan: apa sebenarnya maksud dari "nonaktif"? Apakah ada dasar hukumnya? Dan siapa yang berhak secara resmi memberhentikan anggota DPR di Indonesia?
1. "Nonaktif": Istilah Politik, Bukan Hukum
Secara hukum, tidak ada istilah "nonaktif" dalam Undang-Undang MD3 (UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD). Istilah ini muncul lebih sebagai langkah internal partai politik untuk meredam keresahan publik dan menjaga citra partai.
Dengan kata lain, meski seorang anggota DPR dinyatakan nonaktif oleh partai, status hukumnya sebagai anggota DPR tetap melekat sampai ada mekanisme resmi yang sesuai undang-undang.
2. Mekanisme Resmi: Pemberhentian Sementara dan Antarwaktu
UU MD3 mengenal dua mekanisme hukum bagi anggota DPR yang bermasalah:
* Pemberhentian sementara (Pasal 244 UU MD3)
 Berlaku jika anggota DPR sudah berstatus terdakwa kasus pidana dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun atau terdakwa tindak pidana khusus. Jika terbukti bersalah, ia diberhentikan tetap.
* Pemberhentian Antarwaktu (PAW) (Pasal 239--240 UU MD3)
 Anggota DPR bisa berhenti di tengah masa jabatan karena meninggal dunia, mengundurkan diri, melanggar kode etik, terbukti melakukan tindak pidana, atau diusulkan oleh partai politiknya.
3. Siapa yang Berwenang Memberhentikan Anggota DPR?
Mekanisme pemberhentian anggota DPR tidak bisa dilakukan sepihak. Urutannya jelas: