#Orang tua tidak selalu berharap kita pulang dengan banyak uang, namun cukup pulang dengan kondisi apapun, walau tak bawa uang sepeserpun, itu sudah cukup mengobati kerinduan selama ini.
KLATEN-kompasiana.com
Hari Raya Idul Fitri, tinggal menghitung hari, mungkin sekitar satu Minggu lagi, hari istimewa yang ditunggu-tunggu oleh umat muslim di seluruh Dunia tersebut akan diumumkan, baik oleh Pemerintah, maupun Badan Resmi yang memang tugasnya mengadakan penelitian dan observasi terkait hal tersebut, tentunya setelah pertimbangan beragam aspek dan kriteria yang menjadi acuan penetapan Hari Raya Idul Fitri. Meskipun begitu gaung maupun nuansa Idul Fitri, setidaknya telah mulai dirasakan semenjak awal Bulan Ramadhan, dan menjadi semakin terasa, ketika sudah mendekati beberapa hari menjelang Hari Idul Fitri tersebut. Seperti halnya hari ini, di Klaten suasana lebaran sudah mulai terasa. (24/03/2025).
Penetapan Hari Raya Idul Fitri tersebut, konon perhitungannya adalah berdasar Hilal (bulan sabit), untuk menentukan awal bulan kalender Hijriyah. Jika matahari terbenam sebelum Hilal terlihat, maka esok harinya adalah Tanggal 1 Syawal kalender Hijriyah. Namun begitu penetapan ini juga, tentu ada kriteria tertentu menurut Organisasi Konferensi Islam (OKI) maupun Keputusan Pemerintah yang berdasarkan dari Keputusan Mentri Agama, yang merupakan hasil observasi dan penelitian ahli astronomi serta ulama. Kombinasi dari kesemuanya itu yang menentukan jatuh pada tanggal atau hari apa Idul Fitri tahun 2025 ini.
Setidaknya ada beberapa penanda sederhana yang menandakan, akan tibanya Hari Idul Fitri, di kampung ini, seperti halnya ketika Jalanan arteri di suatu Daerah, sudah mulai ramai, dan ada intensitas peningkatan pengguna arus lalu lintas, itulah salah satu penanda, dari sekian banyak penanda lain bahwa Hari Raya Idul Fitri, akan segera tiba sebentar lagi. Seperti diketahui bersama bahwa tradisi mudik lebaran, sudah berlangsung sejak bertahun tahun lamanya, yakni ketika para perantau mulai mudik (pulang ke kampung halaman) atau kerumah Istri, Suaminya ataupun Keluarga  di Kampung halamannya.
Ketika beberapa perusahaan mulai memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) atau Bantuan Hari Raya (BHR), ini juga penanda bahwa Hari Raya Idul Fitri sudah dekat. Lalu bilamana ada libur sekolah yang cukup panjang, itu juga salah satu faktor lainnya penanda bahwa lebaran sudah dekat.
Kenapa Hari Raya Idul Fitri atau lebaran menjadi sangat ramai di perbincangkan dan selalu menjadi trending topik setiap tahun, ya pastinya karena mayoritas penduduk di negara kita adalah muslim, maka wajar hal tersebut ramai di perbincangkan, dan selalu dicari banyak orang, informasinya lebih lanjut, maka tak heran bila traffic pencariannya di google naik.
Sebenarnya banyak penanda lain selain Hilal, yang secara resmi menjadi patokan, namun ini hanyalah sebatas kebiasaan atau tradisi, dan bukan juga ilmu pasti, hanya kebetulan hal-hal tersebut memang lekat sekali dengan pola kehidupan kita sehari hari. Khususnya di Delanggu Klaten, Jawa Tengah.
Pesona mudik lebaran ke kampung halaman, selalu menjadi sebuah penantian dan impian bagi mereka yang mampu, dan memang memiliki kewajiban untuk menengok keluarga, maupun orang tua atau kerabatnya di kampung. Meskipun tradisi ini juga tidak sepenuhnya dilakukan oleh umat Muslim, karena mungkin belum berkesempatan atau belum mampu, namun setidaknya ini adalah sebuah kerinduan tersendiri bagi mereka untuk bisa kembali berkumpul dengan keluarga, orang tua, maupun kerabat dan rekan serta sanak familinya di kampung
Jangankan hanya antar kota, bahkan bila memungkinkan pun antar negara juga mereka akan mudik, pulang kampung ketika moment spesial Hari Raya Idul Fitri. Namun begitu tanpa bermaksud mengecilkan bagi yang belum mampu atau belum berkesempatan untuk mudik lebaran ke kampung halaman, setidaknya ini hanyalah sebuah pengingat bahwa kerinduan itu selalu ada, dan tentunya ketika orang tua masih ada, pasti kita tidak akan menyia-nyiakan kesempatan buat bersilaturahmi, atau sekedar melepas rindu setelah sekian lamanya waktu di perantauan.
Setidaknya inilah yang dirasakan oleh seorang rekan Topik namanya, salah seorang perantau dari Gunung Sepikul, sekitar Daerah Gunung Kidul, Daerah Istimewa Jogyakarta (DIY) yang pada kehidupan keseharian'nya, Â berjualan angkringan di pinggir trotoar jalan Solo-Jogya.
Meski terbilang hanya mudik sebatas antar kota, dan perjalanan mungkin bisa ditempuh hanya dalam waktu setengah hari. Namun bagaimanapun "mudik adalah kewajiban, dan tanggung jawab pada orang tua." menurutnya.
"Kerinduan tetaplah kerinduan, dan meski tanpa membawa apapun, juga saya akan tetap pulang kampung mas," ujarnya saat bercerita tentang pesona mudik dengan saya di kala menunggu waktu ngabuburit di angkringan tempatnya berjualan.
Bapak 2 orang putri ini, 3 sih sebenarnya, namun yang satu tidak berumur panjang. Adalah seorang pejuang keluarga yang tak kenal menyerah, terlahir dari keluarga besar dengan 6 putra, yang terbilang sederhana dan pas-pasan, sedari kecil dirinya sudah terlatih untuk mandiri, sehingga selepas Sekolah Dasar (SD) sudah langsung merantau, mencari penghasilan sendiri, hingga saat ini angin telah membawanya bersandar di kota beras atau padi Rojolele, Delanggu, Klaten.
Hal ini dilakukannya bukan semata mata karena alasan ekonomi, namun lebih dari itu, dia ingin lepas dari zona nyaman kehidupannya di kampung halaman. Mungkin karena merasa bosan dengan keadaan dan lingkungan sekitar, yang kurang berpihak padanya sehingga dirasa sulit sekali berkembang dan mendapat penghasilan yang layak, maka di bulatkan tekad guna merantau ke Daerah lain yang dirasa memiliki potensi, guna bisa lebih berkembang dan menambah wawasan berikut pengalaman.
Dari kerja serabutan apa adanya, jualan apa saja, yang berpotensi di jual, hingga sempat kala itu berjualan bakso dengan kakaknya di Pasar Delanggu lama, sampai kemudian, Dia belajar sendiri membuat bakso dan merambah ke bisnis bakso keliling, persaingan terakhir memaksanya untuk mundur dari berjualan bakso keliling, karena berhadapan dengan para penjual bakso lainnya yang sudah menggunakan motor, sementara dia hanya memakai gerobak dorong saat itu. Pada akhirnya Topik memutuskan guna berdagang angkringan saja, sebab setiap lini kemungkinan sudah di lewati, dan hanya peluang ini yang tersisa untuk terus bertahan.
Akhirnya Topik memutuskan guna berdagang, karena berbekal ilmu meracik minuman teh dari kebiasaan keluarganya di kampung, dengan racikan dan rumus tersendiri, sehingga bisa menghasilkan teh yang Ginastel (legi panas dan kentel) atau manis, panas dan kental, hal tersebut kemudian di cobanya, untuk kemudian berdagang angkringan wedang teh di Delanggu, kota kecil Kecamatan dengan penduduk yang majemuk dan beragam, banyak penikmat teh serta menyimpan berjuta kenangan.
Bukan hanya kenangan pahit, namun juga kenangan manis yang membawanya bertemu dengan gadis impian dan akhirnya menikah dengan seorang bunga Desa dari Delanggu, hingga memiliki 3 orang putri yang manis saat ini, tiga cewek namun yang satu tidak di beri umur panjang, jadi 2 cewek yang sampai hari menjadi buah hatinya. Bagaimanapun itu adalah anugrah terindah yang diterimanya dan jadi penyemangat hingga saat ini terus aktif bekerja, bahkan jarang sekali terlihat libur berdagang.
Kebutuhan keluarga membawanya pada suatu kondisi ekonomi yang harus mau tidak mau, harus dicukupi, karena itu tak ada alasan baginya buat bermalas malasan, terlebih menjelang Hari Raya Idul Fitri seperti saat ini. Segala cara ditempuh dan beragam upaya dilakukan, guna bisa mendapat hasil maksimal, yang bisa dipakai buat berlebaran dan bersilaturahmi bersama keluarga, serta pulang ke kampung halaman di Daerah Gunung Sepikul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Bukan sekali dua kali Topik berpindah tempat berjualan, sejak merantau dari tahun 2004 silam, bahkan berkali-kali hingga bisa menentukan tempat, yang paling pas dan strategis buat berjualan.
"Namanya juga pedagang kecil Mas brow, jadi memang belum mampu buat menyewa sebuah kios untuk bisa berdagang permanent, mungkin baru ini pencapaian saya, setidaknya tetap di syukuri hingga hari ini meskipun masih banyak kekurangan, namun masih bisa tetap survive dan terus berdagang." ujarnya.
"Pelan-pelan yang penting selamat", yah sebuah pepatah Jawa yang seringkali kita dengar ketika berjumpa atau berbicara dengan beberapa orang yang berasal dari Jawa Tengah (khususnya). Sebuah konsep keihklasan dalam melakukan sesuatu, tidak terburu buru, namun tetap penuh pertimbangan dan menuju sasaran dengan selamat. Begitulah sebuah filosofi Jawa yang sarat dengan makna. Meskipun faktanya tak selalu dengan pelan-pelan itu selamat, karena memang ada faktor x yang diluar perkiraan manusia pada umumnya, namun setidaknya sebagai sebuah pegangan refleksi dan pengingat diri, untuk tidak terlalu cepat dalam mengambil keputusan, ini adalah sebuah alarm yang sangat manusiawi, dan njawani banget.
Kembali pada persoalan persiapan menjelang Hari Raya Idul Fitri, dan mudik lebaran ke kampung halaman. Meski terbilang selama puasa ini lumayan agak sepi dagangannya, namun Topik tetap tidak menyerah, setidaknya di Delanggu, Klaten kota yang penuh dengan rasa toleransi ini telah memberikan kesempatan bagi dirinya untuk tetap bisa berjualan di bulan puasa, itu adalah sebuah berkah tersendiri baginya, sebab bila kita melihat di beberapa Daerah lain, memang ada aturan ketat dan khusus terkait jam buka warung, dikarenakan sedang berlangsung Bulan Puasa.
Namun agak berbeda di Delanggu, Masyarakat cenderung lebih santai dan tidak terlalu fanatis dengan aturan ketat masalah Bulan Puasa, karena masyarakat juga sudah cerdas sehingga bisa membedakan mana yang boleh dan tidak, kesemuanya dikembalikan pada pribadi masing-masing, dan adapun bila Bulan Puasa angkringan masih tetap buka, memang rata-rata masyarakat sudah menyadari bahwa mereka para penjual angkringan juga hidupnya susah dan bergantung mata pencahariannya pada usaha berdagang. Jadi meskipun buka pada waktu jam berpuasa pun, masyarakat sudah terbiasa, memaklumi dan tidak menganggap itu adalah sebuah kriminal yang harus di tertibkan.
Toleransi bukan hanya soal beragama namun juga terkait dengan hajat hidup orang lain, justru dengan buka'nya angkringan ini, malah menambah ujian ketaqwaan dan keyakinan kita dalam menjalankan ibadah puasa, bila memang sudah niat dan tekadnya bulat, seberat apapun godaan'nya pasti bisa dilalui, setidaknya itulah fakta yang terjadi disini hari ini. Kesadaran bahwa meskipun mayoritas namun juga ada minoritas yang hidup berdampingan itu seolah membuka kesadaran dan memberikan permakluman pada beberapa hal yang memang semestinya tidak perlu terlalu kaku dalam pelaksanaan. Salut buat Masyarakat Delanggu dalam hal persoalan ini.
Singkat cerita Topik masih bisa berdagang angkringan, dan bisa mengumpulkan nafkah guna persiapan menjelang hari Raya Idul Fitri bersama keluarganya, kerinduan akan kampung halaman dan bayang-bayang wajah orang tua, seakan tak bisa lepas dari raut wajah Topik, yang sudah menyimpan rindu entah untuk berapa waktu lamanya.
Topik anak ke 5 dari 6 bersaudara ini sesekali memang melamun, ketika sedang, tidak banyak pengunjung yang singgah ke warungnya, dan dari gurat kening serta tutur katanya, memang kerinduan itu, seakan membuncah dan berharap Hari Raya Idul Fitri segera tiba, sehingga Dia bisa membawa keluarganya berlebaran ke kampung halaman.
Meskipun tak ada persiapan khusus, selain hanya berupaya membelikan baju baru untuk anak- anaknya agar terlihat lebih rapi dan bersih, di sisi lain sebenarnya ada juga beberapa hal yang seperti di sembunyikan Topik, yakni terkait dengan petualangan dan masa lalunya selama di Kampung halaman.
Pesona masa lalu saat kecil seumuran anaknya itu, seolah menjadi sebuah cerita panjang yang sebenarnya hendak dia ceritakan pada anak-anaknya kelak ketika di kampung, seakan dia ingin bercerita bahwa Ayahmu dulu itu seperti ini nak, kita bermain bersama mengejar belalang, mencari jangkrik di hutan dan membuat sate belalang khas Gunung Kidul, maupun berkelana ke hutan, menggembala sapi di sawah, serta mandi bersama di sungai, atau hal-hal unik lainnya.
Kenangan itu rasanya ingin sekali Dia ceritakan pada anak-anaknya, namun sempat tertahan dan sedikit malu, karena sebenarnya dia berharap bahwa anak-anaknya memiliki masa depan dan kenangan serta pendidikan yang lebih baik lagi dari darinya. Hingga akhirnya kenangan ini hanya tersimpan dalam benaknya, menunggu bila sewaktu waktu ditanyakan oleh anaknya baru akan di bukanya persoalan kenanga masa lalu tersebut.
Itulah kenapa tiap kali saat Topik melamun ketika saya perhatikan terkadang Dia tersenyum dan tertawa sendiri. Setelah mencoba mencari tahu, ternyata itulah alasan dari senyumnya yang seakan di telan, ya orang tua mana yang tak ingin anak-anaknya bisa lebih baik nasibnya daripada dirinya. Maka dari itu dia tak ingin masa lalunya justru menjadi gambaran pahit bagi anak-anaknya, Dia tak ingin menggangu masa kecil mereka saat ini, yang sudah terbiasa dengan hal hal yang berlangsung di kota.
Meskipun juga terkadang pergaulan kota tak lebih baik dari pergaulan kampung, atau justru lebih banyak individualisnya daripada sosial komunal bergaul dengan sebaya, terlebih semenjak masuknya Handphone (Hp) atau ponsel cerdas. begitulah perkembangan jaman memang tak selalu sejalan dengan harapan dan kenyataan.
Kembali lagi Topik bercerita terkait pesona mudik, "Jadi pada Idul Fitri atau lebaran hari kedua, biasanya memang ada semacam kondangan syukuran bersama dikampung, sore pada lebaran pertama itu biasanya ada kondangan apem, kemudian siang hari pada lebaran kedua ada kondangan nasi, ini adalah wujud syukur dari beberapa kepala keluarga dan masyarakat di sekitar sana. biasanya juga ada pertunjukan Reog oleh warga sekitar di Balai Desa, namun untuk tahun 2025 ini, entahlah apakah masih ada atau tidak, yang pasti bisanya setelah acara kundangan tersebut, baru para Warga Desa berkeliling untuk bersilaturahmi dan meminta maaf pada tetangga-tetangga dekat." jelasnya.
"Darimanapun merantau biasanya saat lebaran Idul Fitri memang masyarakat sekitar seringkali mudik, untuk pulang kampung, sebatas bertemu dengan keluarga dan rekan sejawat maupun sanak family serta memanfaatkan moment tersebut sebagai media silaturahmi dan dan saling memaafkan." terangnya
"Ada juga sebenarnya beberapa obyek wisata seperti Gunung Gambar, Wisata Curug, Sendang Ki Truno Lele, dan banyak lagi tempat wisata alam yang masih alami disana, dan pada beberapa waktu tertentu, memang selalu ramai pengunjung, tapi saya sendiri jarang kesana, disamping tidak punya bekal, juga karena disana kebanyakan pemandangan orang berpacaran, jadi kurang bagus lah buat anak-anak kecil, " terang Topik mengutarakan alasannya.
"Pesona pulang kampung di saat Hari Raya Idul Fitri atau mudik lebaran kalau menurut saya, ya begitulah pulang sungkem dengan orang tua, silaturahmi dengan keluarga masyarakat maupun teman lama di kampung, trus bercerita dan kangen-kangenan dengan keluarga dan teman, makam bersama, itu menjadi pesona tersendiri buat kami, yang selalu menggelitik rasa untuk tetap pulang mudik, apapun alasannya, sebab kesempatan untuk bisa bertemu dan berkumpul seperti itu kan memang jarang kalau tidak pas Hari Raya Idul Fitri," terangnya.
Ditambahkan lagi olehnya "Paling kami mudik, pulang kampung saat hari Idul Fitri itu, hanya beberapa hari saja, kadang dua atau tiga hari sebelum akhirnya kembali ke Delanggu. Sebatas hadir pada upacara kenduri dan juga yang utama memanfaatkan moment  saling bermaafan di keluarga dan masyarakat bersama, setelah itu sudah, kami pun balik ke Delanggu dan saya kembali berdagang" pungkas Topik dengan polos.
"Momentum bersimpuh di kaki ibu dan bapak memohon maaf atas apa yang selama ini telah dilakukan, saya rasa itu adalah momentum paling berkesan dan menjadi pesona tersendiri bagi kami, kesempatan yang hanya bisa di temui ketika momentum Hari Raya Idul Fitri." paparnya .
"Kemudian terkadang juga saya bertemu teman-teman lama di kampung, yang saat ini telah berpencar dan merantau kemana- mana, ada yang di Jakarta, Jogya bahkan luar Jawa, momentum itu biasanya kami manfaatkan guna saling silaturahmi bertanya kabar, siapa tau ada juga lowongan pekerjaan yang sekiranya lebih menjanjikan, sembari basa basi dan bercerita terkait pengalaman waktu kecil silam ketika di kampung, serta sebatas berkenalan dengan keluarga baru atau anak-anaknya, ini menjadi kemenangan tersendiri yang tak terlupakan, di saat Lebaran Idul Fitri," ceritanya.
Belum lagi ketika "Merasakan masakan simbok (orang tua perempuan) yang sebenarnya rasanya biasa saja, namun faktanya itu menjadi hidangan kuliner paling istimewa di keluarga kami di kampung, bukan pada persoalan mewah atau tidaknya, melainkan dari rasa yang tersaji dimana makanan tersebut di buat dengan sepenuh cinta seorang ibu yang sangat merindukan kehadiran anak-anaknya, dan kebetulan pada saat Idul Fitri mereka bisa pulang, rasanya lengkap sudah rasa yang bercampur dengan segenap cinta pada semangkuk nasi sambal goreng cecek, menu sederhana meski tanpa daging ayam atau sapi, tapi ketika tersaji dari hasil cinta simbok pada anaknya seolah makanan ini menjadi makanan yang tiada banding enaknya. dan tak akan bisa ditemukan pada restoran manapun" jelas Topik.
"Itulah beberapa kesan dan pesona mudik lebaran di saat Hari Raya Idul Fitri, mungkin ini hanya hal biasa bagi sebagian orang, tapi itu hal luar biasa bagi kami," pungkas Topik.
Maka dari sekelumit perjalanan dan cerita Topik diatas, sedikit banyak meski hanya sebuah pengalaman orang kecil, dalam hal ini sebatas pedagang angkringan, namun bagi saya itu menyiratkan berjuta makna, dan hikmah tersendiri.
Entah kenapa dari pemaparan sederhana itu saya pribadi juga seolah terbawa dengan pesona mudik lebaran bersama keluarga, namun memang saat ini saya belum diberi kemampuan guna bisa mudik ke Bali, disamping faktor ekonomi, juga ada beberapa hal yang belum selesai dengan petualangan saya di Jawa Tengah. Maka dari cerita ini setidaknya sebuah asa, hinggap di kepala, entah kapan saya bisa mampu dan berkesempatan untuk bisa mudik ke kampung halaman.
Berbahagialah mereka yang memiliki kesempatan dan mampu mudik ke kampung halaman di Hari Raya Idul Fitri ini, namun bagi yang belum mampu seperti saya, semoga angin membawa rasa rindu kami pada orang-orang yang kami cintai.
Di balik cerita indah pesona mudik, ke kampung halaman pada saat Hari Raya Idul Fitri ini, dan teriring doa dari perantauan, kami mengucapakan Minal Aidzin Wal Faidzin, mohon maaf lahir dan batin, kelak bila memang sudah waktunya pasti kita kan bertemu dalam sebuah kesempatan yang indah, sesuai skenario dan rencana Tuhan yang telah dibuat untuk kita.
( Pitut Saputra )
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI