#Menyongsongkemerdekaan
Ik ben Mak Havelaar, die den koffieveilingen te Nederlandsche Handel-Maatschappij bijwoonde. --- Max Havelaar, 1860.
Begitulah kalimat pembuka novel itu. Datar. Di atas kertas, seolah tiada yang genting. "Saya Max Havelaar, yang menghadiri lelang kopi di Nederlandsche Handel-Maatschappij." Dalam struktur kolonial, "lelang kopi" adalah eufemisme dari penderitaan panjang para tani bumiputra.
Benedict Anderson dalam Language and Power menyebut Max Havelaarsebagai "salah satu pernyataan protes politik paling ampuh yang pernah ditulis dalam bahasa Eropa." Bukan hanya karena keberanian teksnya, tetapi karena kedalaman sastranya. Multatuli---nama pena dari Eduard Douwes Dekker---bukan saja menulis sebagai saksi kolonialisme, melainkan sebagai orang dalam yang membongkar dosa bangsanya sendiri.
Multatuli berarti "aku telah banyak menderita"---dari bahasa Latin multum tuli. Tapi siapa yang menderita di sini? Apakah sang penulis? Ataukah para petani di Lebak, yang hidupnya dikeringkan oleh sistem tanam paksa? Barangkali keduanya. Atau barangkali nama itu hanya topeng---yang memantulkan penderitaan mereka yang tak bisa menulis.
Nama ini, Multatuli, bukan sekadar pilihan artistik. Ia adalah kredo: pernyataan iman seorang Eropa terhadap kemanusiaan yang lebih luas dari bangsa dan kekuasaan. Ia membela bangsa yang bukan miliknya, karena yang ia miliki tinggal satu: hati nurani.
Ketika novel Max Havelaarterbit pada 1860, Belanda tersentak. Surat-surat rahasia pemerintah kolonial mulai bocor. Ada sebuah kutipan menarik dari laporan Direktur Urusan Hindia Belanda, Jhr. Mr. A.P.J. van den Bosch, kepada parlemen pada 1861:
"Het boek van Multatuli heeft schade toegebracht aan het aanzien van het koloniaal bestuur. De schrijver toont zich als een revolutionair en als een verrader van zijn stand."
(Buku Multatuli telah merusak wibawa pemerintahan kolonial. Penulisnya tampil sebagai seorang revolusioner dan pengkhianat terhadap kaumnya sendiri.)
Dan dalam pengertian inilah Multatuli menjadi lebih dari sekadar nama. Ia menjadi sosok yang ditakuti, karena ia memilih keberpihakan. Ia membela Saidjah dan Adinda, bukan hanya sebagai tokoh fiksi, tetapi sebagai kenyataan yang tak bisa dituliskan oleh sistem laporan kolonial.