Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Katolik dan Filipina

27 Oktober 2020   07:42 Diperbarui: 27 Oktober 2020   07:52 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Katolik memengaruhi kehidupan sehari-hari dan tradisi tahunan. Lonceng gereja berbunyi sebagai pengingat bagi komunitas dan keluarga melafalkan Angelus. Kehadiran misa juga dicatat setiap hari Minggu. Dalam banyak kasus, jajaran santo Katolik menggantikan dewa-dewi lokal yang diyakini berada di balik siklus pertanian. Akibatnya, pada abad XVII, Katolik telah menjadi agama yang tersebar luas di dataran rendah, terutama di Luzon dan Visayas.

Namun Kristenisasi di Filipina bukanlah proses mulus. Tidak semua penduduk asli memeluk agama grosir. Pada 1621, pemimpin lokal Bankaw dan Tamblot memimpin pemberontakan anti-Katolik di pulau Leyte dan Bohol. Selama berabad-abad, pasukan Spanyol mencoba menembus beberapa bagian Mindanao tetapi perlawanan di antara komunitas Muslim membuat mereka terdegradasi ke daerah pesisir. Banyak komunitas adat lainnya di Mindanao- secara kolektif disebut lumad (asli)- mempertahankan kepercayaan mereka.

Komunitas Muslim di Mindanao tidak pernah mengakui otoritas rezim Spanyol atas wilayah mereka. Dalam perjanjian damai yang ditandatangani pada 1878 antara Spanyol dan Kesultanan Sulu, yang terakhir hanya disebut protektorat. Tetapi ketentuan ini tidak menghalangi Spanyol memasukkan Sulu ketika Filipina diserahkan kepada AS pada 1899. Momen bersejarah ini menjadi latar gerakan separatis, pemberontakan Moro, dan proses perdamaian di Mindanao.

Filipinizing Catholicism

Berbagai dokumen gereja di Filipina, termasuk katekismus lokalnya, menganggap iman Katolik bagian tak terpisahkan dari orang Filipina. Ide ini jelas mengabaikan kehadiran agama minoritas seperti Islam, dan menonjolnya kelompok Kristen seperti evangelis dan Iglesia ni Cristo (sebuah gereja pribumi). Asumsi ini masuk akal secara sosiologis karena dua alasan: Katolik telah menjadi atribut budaya dan menjadi agama yang digunakan orang Filipina untuk memberdayakan diri.

Ini adalah tema yang menonjol dalam banyak tulisan sejarah Filipina. Dalam karyanya yang berpengaruh, Pasyon and Revolution, Reynaldo Ileto menyatakan penduduk asli berasal dari Pasyon (atau Sengsara) untuk memahami penderitaan mereka di tangan orang Spanyol. Sebuah narasi epik yang dinyanyikan selama Prapaskah, Pasyon menceritakan penderitaan Kristus. Penderitaan Kristus mencerminkan penderitaan mereka sendiri dan memberdayakan mereka dalam perjuangan melawan rezim kolonial.

Selama pendudukan Amerika pada paruh pertama abad ke-20, pastor asing menduduki hierarki gereja Katolik. Sementara gereja menunjuk orang Filipina sebagai pastor paroki, posisi penting seperti uskup agung Manila masih dipegang oleh orang non-Filipina. Setelah PD II, Filipina merdeka dari AS, transisi politik yang meningkatkan urgensi argumen ke tatanan agama Filipina. Alasannya jelas: Penduduk setempat perlu berperan aktif dalam dakwah negara dan kawasan Asia yang lebih luas.

Pada 1957, enam imam dari berbagai ordo agama mengirim memo kepada paus sambil meratapi jumlah imam Filipina yang tidak mencukupi. Prosesnya bertahap, tetapi pada 1970-an, ordo religius, sekolah, dan imam menjadi sepenuhnya orang Filipina.

Memang, di paruh kedua abad ke-20, gereja Katolik memainkan peran penting sebagai agama publik di bawah rezim otoriter Ferdinand Marcos. Presiden mengumumkan darurat militer pada 1972 dengan dalih melawan pemberontakan dan kebangkitan Komunis. 

Namun demikian, hierarki Katolik pada awalnya menerima deklarasi tersebut, menggemakan mantra negara bahwa "disiplin diperlukan untuk kemajuan sosial." Tetapi situasinya semakin parah: polisi dan militer menerapkan jam malam dan pemerintah menangguhkan surat perintah habeas corpus, tindakan yang mengarah ke berbagai pelanggaran HAM di bawah rezim Marcos.

Pada 1980-an, paroki-paroki yang telah mengorganisasi komunitasnya masing-masing untuk mendokumentasikan dan memprotes ekses kekuasaan militer segera mendapati diri mereka sebagai korban pelanggaran HAM. Komunitas gerejawi di pedesaan diganggu militer dan para pemimpin agama dipenjarakan. Beberapa bahkan dibunuh. Saat penganiayaan, para pemimpin agama dan orang awam bekerja untuk pembebasan tahanan politik, mengoperasikan media alternatif, dan memberitakan menentang kekuasaan militer. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun