Bila Rindu ini.... Masih Milikmu... Harus berapa lama aku menunggumu!!!!
Sahabatku malam ini kutuliskan lagi surat untukmu. Kau  mungkin menunggu lama. Tidak apa. Menunggu adalah ciri kesetiaan. Paling-paling "yang kamu perlukan hanyalah kaki yang melangkah lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa". Mungkin aku terlalu berpuisi. Aku hanya ingin menebus kesalahanku.
Sahabatku yang selalu setia menanti suratku, kutuliskan sekali lagi bahwa dalam setiap kesibukan harianku, hanya kaulah yang kurindukan. Tidak ada yang lain. Mungkin karena kau telah tiada. Mati mudamu, mati bahagiamu, membuat untaian surat surga yang mengembara tak kunjung bergerak ke atas.
Aku kini berjumpa denganmu dalam wajah orang lain. Orang lain yang mirip denganku. Yang banyak bercerita kendati tak tahu harus dimulai dari mana. Yang banyak tersenyum namun berontak. Yang banyak berspekulasi dengan keprihatinan yang rill. Dan yang banyak menangis tanpa air mata. Tanpa suara. Murung. Namun saat ia bernyanyi dalam Taize, komunitas kecil 350 KM di sebelah selatan Paris, Perancis, suaranya bagaikan 'dua gadis italia yang bernyanyi  indah dalam rekorder Penjara Shawshank, Ohio.Â
Suara yang tak dapat dilukis dengan kata-kata. Membuat semua hati para napi nyaman. Suara yang melengking tinggi dan tinggi daripada yang bisa diimpikan.Â
Seperti burung indah yang mengepakkan sayapnya di kandang kecil Shawshank dan membuat dindingnya hancur. Dan untuk sesaat setiap tahanan di Shawshank merasa bebas." Itulah suara harapan sebuah doa. Kala orang berani berteriak dalam kegelapan yang diam membisu dan sungguh yakin akan didengarkan meskipun tidak muncul jawaban dari sana.
Maaf bila sekali lagi aku berpuisi. Namun yang ingin kukatakan adalah soal keberadaannya. Sebuah keberadaan yang hampa, yang mengalir bagaikan kali kecil lewat padang pasir kehampaan keberadaan. Tampaknya tanpa tujuan dan dengan ketakutan yang mendalam bahwa seluruhnya akan hilang, meresap ke dalam pasir. Kau mungkin ingin mengenalnya. Dengar, kuusulkan padamu. Carilah di surga seseorang yang berasal dari Konstantinopel yang terbunuh di tahun 662 karena membela iman akan Yesus pemuda Palestina yang Bangkit.
Maximus Konfesor. Itulah nama yang kukenakan padanya. Sebuah nama akan pribadi lara bagaikan batu meteor yang melesit sendirian, melintasi keluasan tanpa batas, entah di mana kelak bisa mendarat, di planet lain, atau kembali ke bumi; atau hilang dalam ketakterbatasan alam.
Aku tak mengarang namanya. Aku hanya mengubah. Hhhh (tertawa). Yah orangtuanya (atau karangannya sendiri) memberikan dia nama Maximiliano. Kau mungkin tak asing lagi dengan nama ini. Sebuah nama akan sosok tangguh yang menggantikan Francisek Gajownizek untuk dihukum mati di Auschwitz Polandia 14 Agustus 1941. Namun apakah Maximiliano ini yang dimaksudkan?
Sahabatku. Dia anak yang mirip denganmu juga. Gagap saat berbicara. Mungkin takut tidak didengar. Namun untuk apa semuanya itu disimpan di dalam batin yang enggan bergema. Ia mudah menasehati, namun nasehat orang yang bijak adalah pelipur lara luka batinnya sendiri yang maha luas sekaligus maha terbatas. Seluas dan terbatas dapur rumahnya yang kini perlahan mulai ambruk karena bambu-bambunya diambil sebagai kayu bakar. Karena tinggal orangtuanya yang menjaga rumah-- tak ada upahan lain untuk disuruh mencari kayu bakar. Â Tapi bukan ini alasannya.