Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kita Tak Selalu Muda

13 Mei 2019   22:58 Diperbarui: 15 Mei 2019   10:44 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika Tuhan, Mau begini ubahlah semua, jadi yang kumau....

Aku berdiri menyaksikan Taxi itu membawa mereka pergi. Pergi, hilang dalam pandangan. Getaran aspal perlahan berkurang seiring meredamnya suara mobil yang menjauh. Aku tetap berdiri dan merasakan bahwa ada yang hilang dalam diriku. Selalu kudapati diriku demikian setiap kali kita bersua muka. Akhirnya aku sadar bahwasannya angin masih berhembus, suara jangkrik masih bernyanyi, sentuhan-sentuhan daun bambu masih membuat ngilu. Belum kusebut pula klakson kendaraan yang berbunyi ramai seperti akapela di kejauhan. Yang tertangkap hanyalah bunyi-bunyi yang murung.

Aku kemudian tertawa sendiri. Menertawai kemudaan yang sedikit lagi menjadi Elang Laut yang hilang usai menerkam ikan-ikan kecil yang ingin merasakan hangatnya matari di permukaan laut. Aku tertawa sendiri kala kusadari bahwa, kita tak akan selalu muda, cacian dan makian kita anggap santai sebagai pelepas penat yang mencumbu setiap kali kita menyerah pada waktu yang terus menyeruak menghadirkan kesempatan berjumpa.

Menyerah pada waktu, memandang arloji atau jam yang tertera rapi pada ponselmu yang hitam. Hingga akhirnya hanya kenangan yang sewaktu-waktu menghantui dalam keakraban kita dengan Sang Lian. Dan bila kita telah merapat ke tepi pantai Barceloneta, kita lalu bermenung, bahwa ada yang hilang, kemudaan kita. kamu tahu, saking tipisnya kaca pembungkus pada arloji buatan U.S.S. Constitution 1797-1997, orang tidak pernah memandangnya. Yang dilihat hanyalah jarum jam yang jumlahnya tiga itu.

Sodaraku, aku hanya pemadat yang murung. Si Murung yang selalu bermenung. Tapi permenungan bukanlah payung berteduh, melainkan hanya alun-alun, tempat orang-orang melepas penat sambil dengan cepat melupakannya. Dan bila kuingat alun-alun itu, aku selalu membayangkan mungkin pernah suatu waktu kita berjumpa di masa di mana belum ada perjumpaan. Kita berpapasan namun tak saling menyapa. Intuisi sebagai manusia yang bisa merasakan kehadiran yang lain seakan mati tanpa rasa, dan rasa....

Yah rasa yang lebih indah dari sebuah persahabatan ataupun percintaan. Itulah rasa yang muncul dengan cepat namun mendekam dengan lama. Kini, kita tak pernah malu lagi untuk saling bercerita ataupun menuntut untuk bercerita, tak pernah lagi kita sungkan tuk berucap 'tidak' dan 'ya' di dalam hati kala setiap kita bercerita. Tapi semuanya hadir karna kita masih muda.

When we were young adalah masa di mana kepekaan muncul tanpa pertimbangan, naluri timbul tanpa seleksi. Kita tertawa lepas seolah bahagia dan menangis syahdu seolah melankoli. Semuanya karna kita masih muda. Ini tidak seperti gadis desa yang diajak ke pematang sawah untuk dicumbui kala matahari mulai merapat ke persemayam. 

Masa muda adalah sekolah ketulusan karna pada masa inilah kita bersedia untuk saling melayani; memutar kopi, memasak mie instan, bahkan tak pernah sungkan membawa sepeda di atas motor hanya untuk mengapresiasi kemudaan, dan tidak memedulikan waktu. Kemewaktuan kita adalah ada bersama hingga waktu seakan tidak menjadi waktu namun hanyalah aliran sungai yang berjalan semestinya, alamiah. 

Dan itu karna kita masih muda. Tahukah kamu bahwa Mencius murid dari Konfusius pernah mengatakan dalam kitabnya [6A]:2 bahwa " air memang tidak dapat membedakan antara timur dan barat. Tetapi dapat membedakan atas dan bawah. Sifat asli manusia cenderung baik, laksana air yang mengalir ke bawah. Sifat Manusia tidak ada yang tidak cenderung kepada baik seperti air tidak ada yang tidak mengalir ke bawah".

Namun Aku sebetulnya punya keyakinan sendiri; bahwa takdir telah mengariskan, hukum alam pun sosial telah memastikan, bahwa sedikit lagi semuanya berubah. Perubahan akan segera datang kala kita telah tahu menahkodai kapal masing-masing. Kita telah menjadi navigator untuk pelayaran yang berlabuh pada akhir yang berbeda. Kala itu kita telah menjadi tua dalam perjalanan yang penat dan lelah. 

Di saat itu, tak ada lagi kunjung mengunjung untuk sekadar membunuh waktu, tidak ada lagi nasehat menasehati untuk sekadar mencari kebenaran, tidak ada lagi singgung menyinggung dalam kelakar yang lepas untuk sekadar mengusik kesembiluan, tidak ada lagi tunggu menunggu soal siapa yang terlebih dahulu memandang matari, tidak ada lagi antar mengantar untuk sekadar memastikan ketibaan pada tujuan yang tepat, tidak ada lagi puji-memuji kepribadian untuk sekadar belajar dari setiapnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun