Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Habitat nan Menyesak Berarti Menyudahi Nafas

24 Februari 2017   21:37 Diperbarui: 24 Februari 2017   22:19 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rebah tak berdaya dari sisa-sisa pembersihan lahan. Foto dok. Yayasan Palung

Makhluk hidup diciptakan Ilahi yang sempurna adanya, berupa langit dan bumi beserta segala isinya tidak bisa disangkal memiliki arti yang tidak ternilai bagi semuanya pula. Seperti banyak orang tuturkan, hidup itu hanya sementara di bumi ini. Demikian juga nafas segala makhluk yang menempati habitat (wilayah) hidupnya mungkinkah akan bernasib demikian adanya akan serupa?. Mungkin itu terlalu seram atau menakutkan, andai menilai habitat jua nafas segala bernyawa.

Bila boleh aku mengandai-andai, habitat tak lain sebagai rumah kita bersama semua pula. Tak mengatasnama. Tak berceramah juga tak marah, tidak juga berarti menyalahkan yang salah.

Tetapi, ini dongeng yang telah menjadi nyata dalam bingkai ruang dan waktu ketika habitat kian menyesak. Dongeng-dongeng acap terdengar terlontar tentang luasan habitat apakah akan semakin sempit, boleh raya atau terkikis menjelang habis.

Luasan habitat kian terlihat sempit, populasi makhluk hidup semakin timpang  di tempat berdiam di muka bumi ini, ada yang  menambah akan mendominasi, ada juga yang berkurang, ada yang terancam, sangat terancam hingga ada pula tak bersisa alias harus menyudahi nafas di habitat hidup yang semakin sulit diterawang.  

O iya, Apakah peristiwa makan dan dimakan tidak bisa dihindari dalam menjalani tatanan kehidupan yang dijalani oleh makhluk hidup yang mungkin atau pasti terjadi. Makan berarti pula bisa bertahan, sedangkan dimakan berarti sudah pasti mati (menyudahi  nafas).  

Ribuan, jutaan nafas segala bernyawa kini menanti. Yang tesaji kini tak ubah, patah tumbuh hilang berganti, namun acap kali luluh layu hilang lenyap.

Celotehan nan merdu si burung madu bersama Rangkong kian sayup terdengar. Paduan suara yanyian satwa sunyi sepi  bersembunyi dalam semak belukar belantara yang telah gersang tak bertuan.

Rambut dan serabut pepohonan (hutan) tercabut, tumbang terbelah, terpotong. Sarang burung enggang berupa lobang (dawak) dibatang gugur bersama daun beserta ranting, tak kuasa menahan kuat  laju deru mesin bersama riak pasang dalam yang tak jarang menghampiri segala penjuru. Lihatlah, ketika rinai rintik menetes membasahi, jarang/luput terserap  bumi.

 Waktu panas terik menyengat, kering kerontang datang menghadang datang, kepulan asap tebal berkabut menyelimuti samudara raya dan juga alam raya. Sesak didada tidak terasa terhirup. Satwa primata, semua makhluk yang mendiami belantara, mencari rumah yang tak lagi ramah karena tidak terasa semakin terhimpit sempit. Mencari pakan sebagai sumber makan, tak lagi mewah enggan tersaji  anomali cuaca sebab anomali cuaca.

Ruang gerak kian terbatas, tak lagi bebas sesak sempit semakin menyempit menyesak, bila tak lagi ada yang ramah berarti menyudahi nafas. Nafas hidup segala bernyawa bukan saja hanya saat ini, tetapi juga lestari hingga nanti. Harapku habitat dan nafas dari generasi andai boleh dikata harus berlanjut ke generasi selanjutnya.

Ketapang, Kalbar 24/2/2017

Petrus Kanisius-Yayasan Palung

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun