Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berjumpa Ragam Peninggalan Tradisi Budaya Leluhur di Desa Demit

4 Mei 2017   10:27 Diperbarui: 5 Mei 2017   03:38 2051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ragak,bakul dan kampik. Foto dok. Yayasan Palung

Ragam jenis anyaman-anyaman tradisional budaya leluhur seperti bahan dari bahan baku bambu masih kami jumpai di Desa Demit. Anyaman seperti Kampik, ragak atau bakul dengan beraneka motif tersebut menurut masyarakat setempat termasuk sudah jarang dijumpai mengingat orang tua yang menganyam beraneka motif tersebut sudah tidak banyak lagi yang bisa menganyamnya karena kesulitan menganyam motifnya dan beberapa peninggalan tradisi leluhur lainnya. Hal tersebut saya dan kawan-kawan dari Yayasan Palung menjumpainya ketika melakukan ekspedisi di beberapa desa di Kecamatan Sandai, Ketapang, Kalbar  (25-29 April 2017), kemarin.

Bapak Alteban. Foto dok. Pit Yayasan Palung
Bapak Alteban. Foto dok. Pit Yayasan Palung
Keberadaan aneka anyaman tersebut selain beruntung kami jumpai, tetapi juga karena ada sosok pelestari budaya tradisi masyarakat setempat (di desa Demit). Tidak hanya anyam-anyaman, tetapi juga beberapa ciri khas alat (perlengkapan) bagi masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari di  desa tersebut pula. Sosok yang boleh dikata pelestari budaya tersebut adalah bapak Alteban, 44 tahun.

Secara tidak sengaja, kata itulah yang dapat saya katakan. Tidak sengajanya, ketika kami kami ngobrol-ngobrol ringan bapak 3 anak tersebut bercerita tentang keseharian beliau sedang membuat/menganyam uncang (kerepai) tempat atau wadah yang dulu adalah tempat peluru senapan. Tetapi uncang (kerepai) yang ia buat saat ini tidak lagi digunakan untuk wadah untuk peluru senapan tetapi hanya untuk aksesoris seperti gantungan kunci, untuk tempat (wadah ) rokok, dompet ataupun juga untuk tempat handpone. Uncang/kerepai, bahan-bahannya terbuat dari kulit kayu gentoli dan rotan.

Uncang atau Kerepai. Foto dok. Pit YP
Uncang atau Kerepai. Foto dok. Pit YP
Kulit kayu dibentuk selanjutnya dibalut dengan anyaman rotan. Bila boleh dikata, uncang/kerepai adalah tas jaman dulu yang sekarang mulai dilesarikan lagi karena bentuknya yang unik dan menarik. Adapun untuk harga, uncang/kerepai yang ukurannya kecil (untuk gantungan kunci) harganya 50 ribu rupiah. Ukuran sedang untuk tempat handpone/tempat dompet harganya 200 ribu rupiah dan ukuran yang paling besar (bisa digunakan untuk tempat laptop) harganya 500-600 ribu rupiah.

Kulit Kayu Gentoli saat dikeringkan atau dijemur sebagai bahan baku untuk membuat Uncang atau Kerepai. Foto dok. Yayasan Palung
Kulit Kayu Gentoli saat dikeringkan atau dijemur sebagai bahan baku untuk membuat Uncang atau Kerepai. Foto dok. Yayasan Palung
Uncang atau Kerepai. Foto dok. Pit Yayasan Palung
Uncang atau Kerepai. Foto dok. Pit Yayasan Palung
Aneka anyaman tersebut boleh dikata sudah langka karena sudah tidak banyak lagi, generasi muda tidak bisa lagi menganyam motif rumit tersebut. Tercatat menurut pengakuan bapak Alteban, saat ini di desanya tersisa 1 orang generasi yang bisa menganyam motif dari aneka anyaman tersebut. Adapun motif anyaman yang dimaksud adalah motif paku ikan (motif anyaman berbentuk tanaman paku-pakuan). Beberapa anyaman ragak/bakul/kampik saat masyarakat menugal padi, anyaman ini sebagai wadah benih padi.

Dikata sebagai pelestari budaya, Alteban juga menunjukan beberapa barang-barang yang merupakan budaya tradisional masyarakat yang sudah dikatakan langka. Barang-barang tradisional (peninggalan jaman dulu) dari nenek-kakek ujar bapak Alteban. Bapak Alteban memperlihatkan barang-barang peninggalan nenek-kakek yang lainnya adalah Tronong, demikian masyarakat Demit menyebutnya.

Teronong warisan kakek-nenek, untuk tempat menyimpan lebah madu. Foto dok. Pit Yayasan Palung
Teronong warisan kakek-nenek, untuk tempat menyimpan lebah madu. Foto dok. Pit Yayasan Palung
Menurut cerita Alteban, Tronong merupakan wadah (tempat) menyerupai penangkin. Bagi masyarakat setempat, dulunya Tronong digunakan oleh masyarakat untuk tempat menyimpan madu saat memanjat/menjatak lebah madu. Saat mengambil lebah madu, seseorang harus membawa tronong dan tebaok. Tebaok adalah bahan yang terbuat dari jenis kayu akar nama kayunya kebak (tebaok digunakan untuk pengasapan sarang lebah madu), ujar Alteban.

Teronong dan Tebaok. Foto dok. Pit Yayasan Palung
Teronong dan Tebaok. Foto dok. Pit Yayasan Palung
Saya dan kawan-kawan yang berkesempatan datang ke Desa Demit juga diberi oleh-oleh buah hutan, buah kekupak namanya. Menurut masyarakat setempat, buah kekupak sangat berguna untuk penangkal roh jahat. Dengan kata lain, buah kekupak memiliki fungsi untuk menangkal roh jahat dan menghindari dari marabahaya. Sebagian besar anak kecil di Desa Demit menggunakan kekupak untuk dijadikan kalung sebagai penjaga agar terhindar dari penyakit dan marabahaya serta sebagai pelindung semangat jiwanya.

Buah Kekupak untuk penangkal roh jahat. Foto dok. Pit Yayasan Palung
Buah Kekupak untuk penangkal roh jahat. Foto dok. Pit Yayasan Palung
Lebih lanjut Alteban bercerita tebaok yang digunakan untuk pengusir lebah madu saat mengambil madu, ternyata di masyarakat setempat tebaok dipercaya untuk mengusir ragam penyakit. Caranya, tebaok yang dibakar, abunya diusapkan kebagian tubuh (badan yang sakit).

Tombak dan Mandau. Foto dok. Pit Yayasan Palung
Tombak dan Mandau. Foto dok. Pit Yayasan Palung
Alteban juga memperlihatkan tombak yang menurut ceritanya peninggalan dari Sang Kakeknya, adapula mandau.

Bagi masyarakat di Demit, bapak Alteban selalu diundang saat ada acara kampungnya atau di Sandai ketika ada tamu datang karena selain sebagai sosok pelestari budaya, Alteban juga sangat trampil menari.

Sebagian besar, masyarakat di Demit adalah petani padi dan penoreh getah (penyadap karet). Beberapa masyarakatnya juga adalah pekerja dan pekerja di perkebunan sawit. Ada juga masyarakat yang membuat sengkalan (tempat untuk mengiris bawang/bumbu dapur) dapat juga digunakan untuk alas pemotong daging. Sangkalan dibuat dari sisa-sisa potongan batang kayu leban dan ulin. Bila leban harganya 20 ribu rupiah. Sedangkan sengkalan dari kayu ulin harganya 40-50 ribu rupiah.

Sengkalan yang dijual sebagai tempat pemotong bawang atau daging. Foto dok. Yayasan Palung
Sengkalan yang dijual sebagai tempat pemotong bawang atau daging. Foto dok. Yayasan Palung
Saat ekspedisi pendidikan, sebelum di Desa Demit kami menyambangi Desa Randau Jungkal, selanjutnya di Desa Petai Patah. Beberapa kegiatan seperti melakukan lecture (ceramah lingkungan) di  SMP-SMP yang ada di desa tersebut dan Puppet show (panggung Boneka) di SD-SD. Siang hingga sore harinya kami melakukan diskusi dengan masyarakat dan malam harinya melakukan pemutaran film lingkungan.

Lecture dan Puppet show di desa-desa saat kami melakukan Ekspedisi Pendidikan Lingkungan. Foto dok. Yayasan Palung
Lecture dan Puppet show di desa-desa saat kami melakukan Ekspedisi Pendidikan Lingkungan. Foto dok. Yayasan Palung
Saat diskusi dengan Masyarakat. Foto dok. Pit YP
Saat diskusi dengan Masyarakat. Foto dok. Pit YP
Saat kami lecture, materi yang kami sampaikan adalah manfaat hutan dan orangutan bagi manusia. Saat bermain boneka/panggung boneka di Sekolah Dasar (SD) kami bertutur tentang hutan dan orangutan yang kondisinya semakin terhimpit.

Saat melakukan Pemutaran Film lingkungan. Foto dok. YP
Saat melakukan Pemutaran Film lingkungan. Foto dok. YP
Sedangkan diskusi, kami mendengar keluh kesah ataupun juga potensi yang ada didesa. Saat pemutaran film, kami juga  menyampaikan sosialisasi tentang satwa dilindungi seperti orangutan, kelempiau, bekantan, trenggiling, enggang dan lain sebagainya.

Prasasti desa Demit. Foto dok. Pit YP
Prasasti desa Demit. Foto dok. Pit YP
Adapun asal usul nama Desa Demit, menurut masyarakat setempat awalnya karena di desa tersebut kala itu 3 kali pindah kampung dan akhirnya menetap di Desa Demit. Menurut cerita Pak Jamin, salah seorang tokoh masyarakat di desa Demit menuturkan; dulu,  karena wabah penyakit berupa diare dan ada satu kejadian dalam waktu singkat 5 ibu-ibu kala itu melahirkan bayi, tetapi bayinya meninggal. Sebagian besar masyarakat menganggap peristiwa tersebut sebagai wabah penyakit hantu (demit). Dari dulu hingga sekarang telah berumur 30 tahun. Untuk menjangkau daerah ini (Desa Demit) dilalaui dengan jarak tempuh 105,97 km dari Ketapang.

Teman-teman YP berfoto bersama. Foto dok. YP
Teman-teman YP berfoto bersama. Foto dok. YP
Semua rangkaian kegiatan ekspedisi ke desa-desa yang kami Yayasan Palung lakukan berjalan sesuai dengan rencana dan lancar dan mendapat sambutan baik dari masyarakat.

 Petrus Kanisius-Yayasan Palung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun