Mohon tunggu...
Pitri Ani
Pitri Ani Mohon Tunggu... Freelancer - Pitriani

Pengen Menulis semua yang ada di pemikiran tanpa ada batasan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Panggil Aku Mak' e

2 Januari 2018   12:58 Diperbarui: 2 Januari 2018   13:06 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

'' Jangan panggil aku ibu, panggil saja mak' e" , begitulah ucapan dari ibuku, oh salah, dari mak ku. Itu HadiahDariIbuku yang sampai saat ini masih selalu kukenang. Bukan apa di dalam perintahnya itu sedikit terselip nasehat darinya.

Mengingat masa yang telah silam.

Sedikit ku ulas tentang alur hidupku. Aku yang saat ini merupakan remaja puber yang tengah menempuh pendidikan sarjana di salah satu perguruan tinggi swasta di Surabaya adalah suatu capaian yang sangat sungguh luar biasa bagi kalangan masyarakat di sekitar desaku. Namun, tentunya hal yang biasa jika didengar masyarakat yang bertolak dari kehidupan pedesaan. Dan perjuanganku mampu menempuh pendidikan sampai jenjang yang sekarang ini tentunya juga tidak instan dan selalu membutuhkan pengorbanan untuk mendapatkannya, karena orang sarjana di desaku termasuk orang langka. 

 Waktu itu, aku berpulang ke kampung halaman, tempat dimana ku dilahirkan. Seperti biasa layaknya remaja perantauan, sesampai di rumah ku disambut oleh keluarga besarku yang terdiri dari kedua orang tuaku, adik keturunanku, nenek, kakek, pak lek, bu lek, dan tak lupa tetangga dekat rumahku. Seperti berpulang dari luar pulau saja? atau seperti habis naik haji? Bukan karena ditradisi desaku memang seperti itu, jika ada seorang yang pulang ke kampung halamannya maka akan mendapat sambutan yang meriah dari warga sekitar, selain hanya untuk menanyakan sebuah kabar, lebih pentingnya adalah berharap mencicipi buah tangan yang dibawa sang penilik kampung tersebut. Maka tak pernah kulupa setiap kupulang ke kampung halaman kusiapkan sedikit buah tangan. Rambutahn yang bergelantungan di sedan pinggir jalan waktu itu menjadi sasaranku untuk kujadikan oleh-oleh yang bukan sama sekali khas Surabaya.

Semua anak kecil duduk melingkar di tikar yang telah digelar oleh nenekku, semua asik dengan permainan dakon biji rambutan dari rambutan yang telah disantapnya tadi. Tidak jarang setiap kali kupulang, seakan menjadi artis dadakan didesa, karena beberapa pertanyaan selalu diajukan oleh  ibu maupun bapak tetanggaku. Baik pertanyaan bagaimana kuliahku? bagaimana kos ku? bagaimana prestasiku? sampai bagaimana pacarku? dan pertanyaan terakhir adalah paling menohok untukku, karena mampu menggoyahkan janjiku pada tuhan, bahwa tak kan kutunaikan pacaran sebelum ku dapatkan ijasah sarjanaku. Penyambutan pulangku telah selesai.

Saat itu malam, aku membereskan baju dan seluruh barang bawaanku di kamarku. Ditemani ibuku, lalu sambil bercerita sedikit dengannya. Banyak yang kami ceritakan hingga akhirnya ibuku terdiam lama saat kulontarkan pertanyaan " ehmmm aku boleh panggil mak dengan ibu tidak?", tanyaku.

Ibuku terdiam cukup lama lalu akhirnya menjawab.

"Mengapa kamu tak panggil aku mak saja, apa kamu tidak bangga dengan panggilan mak?", timpal ibuku seakan aku mulai menuju skak mat.

"Bukan, aku bangga dengan panggilan mak", jawabku singkat , aku dan ibuku lalu diam kembali.

"Lalu kenapa mau panggil mak jadi ibu, kau gengsi dengan teman-teman mu di kota?" , jawabnya kali ini mengena dijiwaku. 

"Nak,  bukan makmu ini tak mau kau panggil ibu, kau tau sendiri, didesa kita ini siapa yang hanya memanggil ibu dan ayah?", tanya ibu padaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun