Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pesan Terakhir Anis Baswedan dan Pendidikan di Asia Menurut Pandangan Professor Ng Aik Kwang

31 Juli 2016   08:36 Diperbarui: 6 Agustus 2016   18:28 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 (ilus: http://news.okezone.com)

Proses belajar yang benar dan dapat di nikmati pelajar baik itu PAUD, TK, SD, SMP, SMA hingga Perguruan Tinggi di Indonesia sering menuai kritikan dari berbagai masyarakat. Menimbah ilmu pengetahuan seperti menceritakan seberapa besarnya tekanan pelajaran yang diserap siswa-siswinya, dimana sebagian besar orang masih beranggapan bahwa sukses itu adalah materi bukan kebahagiaan. Karena sedemikian rupanya lingkungan menerjemahkan kata sukses itu maka berimbas pula pada dunia pendidikan kita.

Agar diakui negara lumrah kita mendengar istilah kuliah/sekolah untuk mendapatkan legalitas seperti ijazah. Tidak dapat diungkiri untuk melamar pekerjaan yang tepat dibutuhkan lembaran ijazah. Akibatnya kita  belajar hanya sekedar mengejar nilai bukan mendapatkan ilmu. Selain untuk memenuhi ambisi orang tua, dengan pelajaran tambhan juga merupakan kerja sambilan bagi pengajar untuk memenuhi kebutuhan hidup diluar jam sekolah, tidak bisa dipungkiri gaji guru terutama yang berstatus honor/sukarelawan relatif sering dikebiri sebelum sampai kepada yang bersangkutan.

Point selanjutnya agar anaknya bisa menjadi “pandai” diatas rata-tara anak lainnya, anaknya pun dipaksakan berpacu melawan waktu dengan jadwal padat belum tentu si anak merasa nyaman menjalaninya. Tanpa sempat istirahat sepulang sekolah langsung ikut bimbingan belajar dan lain sebagainya. Tidak bisa bayangkan perkembangan anak nanti akan seperti apa, yang seharusnya ada waktu untuk bermain malah dipaksa ikut ekstra kulikuler. Akhirnya anak-anak belajar untuk menghapal bukan lagi memahami pelajaran, seperti itulah realisasinya.

Artikel serupa tentu lebih komplet dan mendetail sangat banyak beredar di beberapa media sosial ataupun blog pribadi. Pepatah kepepet mengatakan “lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali.” Akan sangat sulit mendapatkan buku kontroversial ini di indonesia, sepintas lalu saya membaca melalui share teman melalui media sosial dan portal online tulisan Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland berjudul "Why Asians Are Less Creative Than Westerners (2001)” menguak beberapa hal membelalakkan mata dan pikiran banyak orang antara lain.

Ulasannya mengandung unsur provokatif, akan tetapi memberi inspirasi. Setelah membaca tulisan ini, bangsa Asia yang dimaksud oleh Prof. Ng Aik Kwang tersebut kayaknya lebih tepat ditujukan untuk Indonesia, tidak bisa digeneralisir untuk Korea, Jepang, China yang terkenal kreatif.

Diakui, pendidikan mutlak berorientasi nilai, belum berorientasi pemahaman. yang berimbas pada proses seleksi masuk kerja. Semoga tenaga pendidik menyadari, memulai kedudukan pendidikan pada tempatnya. Pendidikan adalah memanusiakan manusia bukan membunuh, begitulah makna yang saya pahami, ketika pendidikan tidak memanusiakan manusia, secara tidak langsung telah mencetak robot berwujud manusia.

 (Ilus: http://setia1heri.com/)

Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland, dalam bukunya “Why Asians Are Less Creative Than Westerners (2001)” yang dianggap kontroversial, ternyata menjadi buku “best seller” banyak memuat beberapa hal tentang bangsa-bangsa Asia yang telah membuka mata dan pikiran banyak orang :

  1. Bagi kebanyakan orang Asia, dalam budaya mereka, ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang dan harta lain). Passion (rasa cinta terhadap sesuatu) kurang dihargai. Akibatnya, bidang kreativitas kalah populer oleh profesi dokter, lawyer, dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat menjadikan seorang untuk memiliki kekayaan banyak.
  2. Bagi orang Asia, banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai daripada CARA memperoleh kekayaan tersebut. Tidak heran bila “lebih banyak orang menyukai” cerita, novel, sinetron atau film yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenis itu. Tidak heran apabila “perilaku koruptif” ditolerir/diterima sebagai sesuatu yang wajar.
  3. Bagi orang Asia, pendidikan “identik dengan hafalan” berbasis “kunci jawaban” bukan pada pengertian. Ujian Nasional, tes masuk Perguruan Tinggi dll, semua berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa “diharuskan hafal” rumus-rumus ilmu pasti dan ilmu hitung lainnya, bukan diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus-rumus tersebut.
  4. Karena berbasis hafalan, murid-murid di sekolah di Asia dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi “Jack of all trades, but master of none” (tahu sedikit-sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apapun).
  5. Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Asia bisa jadi juara dalam Olimpiade Fisika, dan Matematika. Tapi hampir tidak pernah ada orang Asia yang menang Nobel atau hadiah internasional lainnya yang berbasis inovasi dan kreativitas.
  6. Orang Asia takut salah (KIASI) dan takut kalah (KIASU). Akibatnya ‘sifat eksploratif’ sebagai upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil risiko kurang dihargai.
  7. Bagi kebanyakan bangsa Asia, bertanya artinya ‘bodoh’, makanya rasa penasaran tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah.
  8. Karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta Asia jarang mau bertanya tetapi setelah sesi berakhir peserta mengerumuni guru/narasumber untuk minta penjelasan tambahan.

Dalam bukunya Professor Ng Aik Kwang menawarkan beberapa solusi sebagai berikut:

  1. Hargai proses. Hargailah orang karena pengabdiannya bukan karena kekayaannya.
  2. Hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban. Biarkan murid memahami bidang yang paling disukainya.
  3. Jangan jejali murid dengan banyak hafalan, apalagi matematika. Untuk apa diciptakan kalkulator kalau jawaban untuk X x Y harus dihafalkan? Biarkan murid memilih sedikit mata pelajaran tapi benar-benar dikuasainya.
  4. Biarkan anak memilih profesi berdasarkan PASSION (rasa cinta) nya pada bidang itu, bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi tertentu yang lebih cepat menghasilkan uang.
  5. Dasar kreativitas adalah rasa penasaran berani ambil resiko. AYO BERTANYA!
  6. Guru adalah fasilitator, bukan dewa yang harus tahu segalanya. Mari akui dengan bangga kalau KITA TIDAK TAHU!
  7. Passion manusia adalah anugerah Tuhan. sebagai orang tua kita bertanggung-jawab untuk mengarahkan anak kita untuk menemukan passionnya dan mensupportnya.

Mudah-mudahan dengan begitu, kita bisa memiliki anak-anak dan cucu yang kreatif, inovatif tapi juga memiliki integritas dan idealisme tinggi tanpa korupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun