Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gurunya “Killer” Muridnya “Keblinger”

14 Agustus 2016   15:27 Diperbarui: 16 Agustus 2016   09:22 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 (Ilus:http://news.okezone.com/)

Seorang guru zaman sekarang selalu pada posisi terpojok ketika memberi sanksi kepada muridnya terlebih bebau kekerasan terhadap anak didiknya, pasti akan di damprat orang tuanya. Lumrah sih, menghukum muridnya yang melakukan kesalahan, nakal, atau bahkan berbuat kurang ajar di sekolah?.

Sanksi berupa jeweran, cubitan atau memberikan sanksi fisik lainnya dikategorikan kekerasana terhadap anak. Orang tua berdalih “anak saya di rumah tidak pernah dijewer bahkan dicubit” menjadi tameng untuk memperkarakan guru. Dahulu, mungkin hal tersebut menjadi sangat wajar dan lumrah dilakukan oleh para guru untuk memberikan efek jera kepada muridnya dengan maksud agar tidak mengulangi perbuatannya.

Guru memang profesi mulia setara pahlawan tanpa tanda jasa, tapi dalam kenyataannya sengsara. Murid akan merasa takut dihukum oleh guru, terhadap guru guru ringan tangan alias “killer teacher” murid bukan pinter malah keblinger mengikuti proses belajar.

Namun, apa yang terjadi dengan kondisi saat ini justru sebuah ironi. Setidaknya, berkaca dari pengalaman kurang sedap untuk dibaca, karena sudah terlalu lama untuk dibahas, setidaknya saya berusaha mengurai pengalaman kepada pembaca, bahwa pernah mendapat hukuman serupa.  Berstatus sebagai murid jauh dari orang tua, saat duduk dibangku SMP pernah kena sanksi fisik, musababnya tidak mengerjakan tugas dari guru.

Kronologinya saat usia saya kisaran 14-15 tahun yang lalu, kami berdua dengan adik dan kebetulan satu kelas, setelah semua tugas murid diperiksa, giliran kami diperiksa oleh guru, karena tidak mengerjakan tugas kami disuruh berdiri di depan teman-teman satu kelas, lantas ditanya, “kenapa tidak kerja tugas, kompak kami menjawab singkat, lupa pak,” dan itu wajar.

Merasa belum puas dengan jawaban kami bukannya disuruh duduk, malah kami dipermalukan disuruh saling kethak-kethakan (saling getok) kepala saudara sendiri, siapa yang sudi menyakiti saudara sendiri. Kami menolak sanksi tersebut, akibatnya sang guru naik pitam, spontan guru tadi menggethok kepala kami berdua dengan keras sampai terasa sakit, kalau tidak salah guru tersebut berinisial H.

Tidak lama setelah sanksi tak terlupakan itu, berselang beberapa hari terdengar kabar bahwa guru yang memalukan kami kecelakaan lalu-lintas mengalami patah kaki, entah kondisi saat ini masih hidup atau sudah almarhum. Membuktikan bahwa Tuhan lebih berkuasa dari guru, dalam memberi sanksi sewajarnya saja, hindari kontak fisik.

Sanksi cubitan guru juga pernah saya alami, saat duduk dibangku SMA. Bagian pinggang saya dicubit hingga sakit, karena tidak mengerjakan tugas matematika seandainya hal ini dialami murid sekarang, guru-guru pelaku kekerasan fisik tersebut sudah lama dipolisikan.

Belakangan, tenaga guru dipidanakan hanya karena menghukum muridnya kian marak, apalagi sampai mengarah hukuman fisik. Guna membuat jera perbuatan tercela murid, sanksi diberikan tanpa harus melakukan hukuman fisik bisa dilakukan melalui berbagai kegiatan positif seperti bakti sosial atau tanam pohon di halaman sekolah akan lebih manusiawi.

Murid justru merasa nyaman dengan kondisi sanksi seperti itu, jika selalu fisik menjadi sasaran mereka "merasa tersakiti" tidak terima dan justru menyerang balik guru dengan pasal kekerasan dan penganiayaan. Bukannya diselesaikan lewat komite/konseling/kepala sekolah, ironinya lagi, para orang tua wali justru lebih memilih jalan main hakim sendiri untuk membela anaknya yang melakukan kesalahan dan gurunya yang dianggap telah melakukan tindakan semena-mena.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun