Kita sering dengar istilah "salah pergaulan" dipakai untuk menjustifikasi kenapa seorang anak jadi berubah, kenapa nilai sekolah anjlok, kenapa sikapnya mulai aneh, dan kenapa masa depannya seolah buram padahal baru dimulai. Tapi, pernah gak kita coba melihat lebih dalam? Apa benar karena pergaulannya aja? Atau justru karena sejak awal, ia tumbuh tanpa pegangan yang cukup kuat untuk bertahan?
Di sekitar kita, mungkin ada satu-dua anak yang dulunya biasa aja waktu SMP. Gak terlalu menonjol, tapi juga gak punya masalah besar. Lalu saat naik SMA, baru setahun belum sampai, dia malah putus sekolah. Bukan karena gak mampu, bukan karena dipaksa kerja, tapi karena sudah terlalu larut dalam lingkungan yang berbeda. Lingkungan anak jalanan, pengamen, komunitas vespa rosok yang bagi sebagian orang dianggap "bebas" dan "liar". Mereka nongkrong dari siang sampai malam, jarang pulang, pakai baju seadanya, dan hidup seperti gak punya arah.
Padahal, anak itu punya rumah. Masih ada mbah yang tinggal bareng. Tapi ya itu tadi, orang tuanya kerja jauh di luar kota. Komunikasi jadi renggang, pengawasan minim, dan rasa sepi itu akhirnya digantikan oleh kehangatan dari lingkungan yang gak selalu sehat. Teman-teman sekomunitas yang mungkin sama-sama "terluka" oleh kehidupan, merasa senasib, akhirnya saling menerima. Sayangnya, penerimaan itu juga diwarnai oleh nilai-nilai yang gak selalu baik: bebas sekolah, bebas aturan, bebas tujuan.
Apa salah anak itu? Mungkin iya, karena dia memilih. Tapi juga enggak sepenuhnya. Anak usia remaja itu masih rapuh secara emosi. Mereka butuh figur untuk dijadikan tempat sandaran, butuh ruang untuk cerita, dan butuh rumah yang bukan cuma bangunan, tapi juga pelukan hangat dan arahan yang konsisten. Ketika semua itu gak ada, jalanan pun terasa lebih "ramah".
Fakta dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan bahwa remaja yang tumbuh tanpa pengawasan atau pendampingan yang memadai memiliki risiko lebih tinggi untuk putus sekolah, terlibat kenakalan remaja, bahkan mengalami eksploitasi. Jadi, bukan cuma salah anak, tapi juga sistem sosial di sekelilingnya yang gak cukup tanggap sejak awal.
Yang menyedihkan, banyak dari mereka yang akhirnya terjebak terlalu jauh. Gak mikirin masa depan, gak punya ijazah, gak punya keterampilan yang bisa dijual, dan akhirnya cuma hidup dari hari ke hari. Mau kerja formal susah karena gak punya bekal. Mau usaha juga gak tahu mulai dari mana. Lingkarannya terlalu sempit, dan yang mereka tahu cuma: yang penting hari ini kenyang.
Tapi apakah semua sudah terlambat? Belum tentu. Banyak juga anak-anak yang sempat tersesat, lalu balik arah. Tapi itu biasanya terjadi kalau ada yang nyentuh hati mereka. Entah itu guru yang gak pernah menyerah, keluarga yang akhirnya turun tangan beneran, atau komunitas positif yang kasih ruang kedua. Yang paling penting, mereka gak dihakimi terus-menerus, tapi dituntun perlahan.
Masalah "salah pergaulan" bukan hal baru. Tapi kalau kita terus menyalahkan tanpa peduli, maka yang salah bukan cuma pergaulannya, tapi juga masyarakatnya. Karena sejatinya, anak-anak gak pernah benar-benar ingin tersesat. Mereka cuma ingin dimengerti.
Referensi Tambahan:
KemenPPPA RI. (2022). Risiko Sosial Anak Tanpa Pendampingan Orang Tua