Mohon tunggu...
Pipit Indah Oktavia
Pipit Indah Oktavia Mohon Tunggu... Fresh Graduate dari Fakultas Hukum Universitas Jember

Menulis bukan karena tahu segalanya, tapi karena ingin belajar lebih banyak. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Jember yang percaya bahwa perspektif bisa tumbuh dari cerita sederhana. Di Kompasiana, saya ingin berbagi, bukan menggurui.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kata yang Sering Disalahpahami

30 Juni 2025   07:11 Diperbarui: 30 Juni 2025   19:26 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Nuance Alley

Kata-kata itu kayak pisau bermata dua. Bisa menyembuhkan, bisa juga menyakiti. Dan yang menarik, banyak dari kita pakai kata-kata setiap hari baik lisan maupun tulisan tapi nggak selalu paham maknanya dengan benar. Kadang karena terbawa tren, kadang karena salah paham sejak awal, kadang cuma ikut-ikutan. Akhirnya, makna kata jadi kabur, bahkan bisa menyesatkan.

Coba kita mulai dari kata "toxic". Sekarang, kata ini udah kayak sambal ada di mana-mana. Tapi nggak semua yang bikin nggak nyaman itu toxic. Hubungan yang penuh konflik belum tentu toxic, bisa jadi cuma kurang komunikasi. Tapi karena semua yang ribet dikasih label toxic, kita jadi cepat menyerah, tanpa usaha memahami. Kata ini jadi semacam pelarian instan buat memutus, bukan menyelesaikan.

Contoh lain, "bucin". Padahal, mencintai seseorang dengan sepenuh hati itu bukan berarti bucin. Bucin (budak cinta) bukan tentang cinta yang dalam, tapi tentang kehilangan kendali dan identitas karena cinta. Tapi banyak yang menyalahgunakan kata ini buat nyinyirin orang yang lagi sayang-sayangnya. Padahal, setiap orang punya cara sendiri dalam mencintai, selama masih sehat dan nggak merugikan diri sendiri, kenapa harus dihakimi?

Atau kata "healing", yang sekarang udah lebih mirip alasan buat liburan. Healing bukan cuma soal naik gunung atau ke pantai. Healing yang sesungguhnya adalah proses memulihkan luka batin. Kadang itu butuh waktu, ruang, dan refleksi diri. Bukan sekadar piknik lalu posting caption bijak di Instagram. Tapi karena healing jadi tren, maknanya pun tergeser. Bukan salah liburannya, tapi ketika kita lupakan esensinya.

Ada juga kata-kata seperti "setia", "ikhlas", "merdeka", "sukses" yang kalau dibedah satu-satu bisa panjang. Tapi intinya, kata-kata ini sering kehilangan makna aslinya karena terlalu sering dipakai tanpa pemahaman. Bahkan kata "normal" pun bisa jadi bias. Apa itu normal? Normal buat siapa? Kapan? Di mana? Normal bisa jadi sangat tidak adil kalau digunakan untuk menekan keragaman atau memaksakan keseragaman.

Bahasa itu hidup. Ia berkembang seiring zaman. Tapi bukan berarti kita boleh asal comot dan ubah-ubah seenaknya. Apalagi dalam konteks publik, ketika satu kata bisa berdampak besar entah memengaruhi opini, perasaan, bahkan kebijakan. Sebuah riset dari Linguistic Society of America juga menunjukkan bagaimana perubahan makna dan konteks bisa memengaruhi persepsi publik secara luas (Linguisticsociety.org, 2020).

Sebagai pengguna bahasa, kita punya tanggung jawab: berpikir sebelum bicara. Menyadari bahwa tidak semua kata punya makna universal. Tidak semua orang memaknainya dengan cara yang sama. Maka belajar memahami sebelum menyimpulkan itu penting. Karena bisa jadi, yang selama ini kita anggap "salah", hanya berbeda.

Dan kadang, yang bikin sakit itu bukan kata-katanya, tapi cara kita salah mengartikannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun