Mohon tunggu...
Pipit Indah Oktavia
Pipit Indah Oktavia Mohon Tunggu... Fresh Graduate dari Fakultas Hukum Universitas Jember

Menulis bukan karena tahu segalanya, tapi karena ingin belajar lebih banyak. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Jember yang percaya bahwa perspektif bisa tumbuh dari cerita sederhana. Di Kompasiana, saya ingin berbagi, bukan menggurui.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Mengungkap Makna di Balik "Like Story" di Media Sosial

17 Juni 2025   17:59 Diperbarui: 17 Juni 2025   17:59 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di era media sosial, ekspresi emosi dan perhatian tidak lagi disampaikan lewat kata-kata, melainkan lewat simbol-simbol kecil nan sederhana - seperti like pada story Instagram. Sekilas, itu tampak remeh, hanya satu ketukan jempol atau emoji hati. Namun, bagi banyak pengguna, like story menyimpan makna yang jauh lebih dalam daripada yang terlihat di permukaan. Ia menjadi isyarat sosial, sinyal perhatian, bahkan kadang - pengganti komunikasi. Lalu, sebenarnya apa yang sedang terjadi ketika seseorang menekan tombol like pada sebuah story?

Pertama-tama, kita perlu memahami bahwa story di media sosial bukan sekadar konten yang dibagikan selama 24 jam. Ia adalah bentuk komunikasi pasif, singkat, namun sangat personal. Ketika seseorang menyukai sebuah story, itu menandakan bahwa ia melihat, memperhatikan, dan memilih merespons. Di sinilah letak kompleksitasnya - karena tidak ada kata, tidak ada obrolan, hanya isyarat diam yang sarat makna. Dalam konteks ini, like bukan lagi soal setuju atau tidak setuju, melainkan bisa menjadi tanda "aku memerhatikanmu", "aku masih ada", atau "aku sedang mencoba mendekat tanpa bicara".

Menurut studi dari University of North Carolina (2021), pengguna media sosial usia 18 - 30 tahun mengakui bahwa mereka menggunakan fitur like story sebagai bentuk "interaksi rendah risiko" terutama ketika mereka ingin menjaga jarak namun tidak ingin benar-benar menghilang. Artinya, tindakan sederhana ini bisa menjadi bagian dari strategi komunikasi sosial yang disengaja: menghidupkan komunikasi tanpa memulai percakapan.

Namun, tidak semua like bermakna personal. Dalam budaya digital saat ini, like juga telah menjadi ritual sosial tanda kesopanan, bentuk menjaga hubungan, atau sekadar respons otomatis karena seringnya melihat konten serupa. Banyak dari kita menekan like hanya karena kebiasaan, tanpa benar-benar memperhatikan isi story-nya. Di sinilah terjadi benturan persepsi. Bagi pengirim story, like bisa dianggap sebagai perhatian lebih, tapi bagi pemberi like, itu bisa jadi hanya gesture netral yang tidak berarti apa-apa.

Fenomena ini kemudian menciptakan ruang interpretasi yang sangat luas, bahkan sering kali ambigu. Tidak jarang kita mendengar kalimat seperti, "Dia like story-ku, berarti dia masih mikirin aku?" atau "Dia rajin like, tapi kok nggak pernah ngajak ngobrol?". Ini menunjukkan bahwa media sosial telah mengaburkan batas antara isyarat dan pesan yang sebenarnya. Kita memberi makna pada sesuatu yang bisa jadi tidak bermaksud apa-apa - sebuah bias emosional yang bisa berujung pada ekspektasi yang tidak realistis.

Lebih jauh, like story juga mulai digunakan sebagai alat untuk menjaga relasi dalam jaringan sosial. Kita memberikan like ke teman kerja, saudara jauh, atau kenalan baru sebagai cara untuk tetap "visible" di hadapan mereka. Dalam hal ini, like berfungsi seperti senyum di dunia nyata - cepat, ringan, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa kita peduli. Ini sejalan dengan teori "media richness" yang dikembangkan oleh Daft & Lengel, di mana komunikasi digital cenderung miskin akan isyarat non-verbal, sehingga simbol-simbol kecil menjadi sangat penting sebagai pengganti ekspresi kompleks.

Namun di balik semua itu, kita juga harus mulai bertanya: apakah kita terlalu mengandalkan validasi digital untuk merasa dilihat dan dihargai? Apakah kita benar - benar memahami maksud orang lain saat mereka menyukai story kita, atau kita hanya mengisi kekosongan sosial dengan asumsi dan harapan? Ketika makna terlalu sering dibaca dari gestur sekilas, ruang untuk kesalahpahaman pun semakin luas.

Sebagai pengguna, kita perlu lebih bijak dalam menyikapi interaksi digital semacam ini. Tidak semua like berarti cinta tersembunyi, dan tidak semua ketidakhadiran di story berarti seseorang telah melupakan kita. Kita perlu mengembalikan makna komunikasi ke hal yang lebih nyata - percakapan terbuka, kehadiran yang jujur, dan ekspresi yang tidak bergantung pada algoritma.

Pada akhirnya, like story adalah cermin dari bagaimana kita membangun hubungan di era digital: cepat, ringan, namun penuh makna tersembunyi. Kita boleh menikmatinya, tapi jangan sampai kehilangan kepekaan akan komunikasi yang sejati. Sebab jika semua ekspresi hanya bergantung pada tombol dan emoji, maka kita pun bisa kehilangan makna di balik perhatian yang sesungguhnya.

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun