Nama Raja Ampat telah lama identik dengan surganya keanekaragaman hayati laut dan lanskap alam yang menakjubkan. Namun, baru-baru ini, keindahan itu terusik oleh rencana aktivitas penambangan nikel di wilayah yang sebagian besar merupakan kawasan konservasi. Kabar ini memicu gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat sipil, terutama dari kalangan lingkungan dan akademisi. Tapi pertanyaannya: apakah aktivitas tambang ini sah secara hukum?
Dalam tulisan ini, kita akan membedah isu tersebut dari perspektif hukum lingkungan dan administrasi negara, dengan pendekatan yang elaboratif dan berbasis data.Â
Raja Ampat merupakan kabupaten di Provinsi Papua Barat Daya yang dikenal sebagai kawasan konservasi laut terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Sebagian besar wilayahnya-baik darat maupun laut-telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi dengan status perlindungan ketat, baik oleh pemerintah daerah maupun pusat.
Namun, pada awal 2024, muncul pemberitaan tentang diterbitkannya Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat kepada sebuah perusahaan di wilayah tersebut. Meskipun izin tersebut diklaim berada di luar kawasan suaka margasatwa, berbagai laporan lapangan dan peta menunjukkan tumpang tindih antara wilayah tambang dengan kawasan konservasi dan pemukiman masyarakat adat.
Tinjauan Hukum: Apakah Tambang Ini Legal?
1. UUD 1945 Pasal 28H ayat (1)
"Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat."
Ini adalah dasar konstitusional bahwa lingkungan hidup yang sehat merupakan hak asasi setiap warga negara.Â
2. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 37 menyebutkan bahwa setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan wajib memiliki AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Selain itu, Pasal 69 secara tegas melarang perusakan kawasan konservasi.