Mohon tunggu...
Pieter Sanga Lewar
Pieter Sanga Lewar Mohon Tunggu... Guru - Pasfoto resmi

Jenis kelamin laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hipersarkasme: Presiden Dungu

19 Agustus 2021   07:35 Diperbarui: 19 Agustus 2021   07:46 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Siapa pun yang menonton tayangan "Rosi" Kompas TV (Kamis 18/2/2021) akan mengelus dada ketika seorang warga negara Indonesia, seorang dosen filsafat, mengata-ngatai presidennya dungu. 

Kedunguan Presiden, menurut Rocky Gerung--filsuf yang yang hipokrit dan demagog itu-- tercermin dari pernyataan Presiden bahwa negara demokrasi tidak membutuhkan oposisi. 

Apologi itu selalu diulang-ulang ketika presenter mencoba menggali landasan pernyataannya bahwa presiden dungu. Rasionalisasinya cenderung emosional dan tidak berdiri di atas fakta kedunguan;  bahkan silogismenya terasa "ngawur"  dan tidak akademis yang sederajat  dengan kesarjanaan filsafat yang disandangnya.

Secara intuitif, saya merasa terhinakan sebagai warga negara. Presiden yang dipilih secara demokratis oleh jutaan rakyat Indonesia, dihujat di depan publik luas sebagai orang yang dungu. 

Presiden RI sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dinilainya sebagai orang yang sangat tumpul otaknya, tidak cerdas, bebal, dan bodoh. 

Apalagi dikatakan bahwa intensitas kedunguan itu semakin tinggi ketika para pembela (pemilih) Presiden adalah orang-orang  yang juga dungu. Dengan kata lain, Presiden dan jutaan rakyat yang telah memilihnya adalah manusia dungu. Inilah hipersarkasme yang mendegradasi manusia pada titik kebinatangan.

Apakah ini yang disebut sebagai kebebasan berpendapat? Apakah "tong kosong nyaring bunyinya" ala Rocky Gerung tidak lebih daripada kritik munafik dan naif yang tidak abstraktif (metode filsafat yang memahami apa yang esensial dari apa yang tidak esensial dalam suatu gejala)? Di mana kesantunan atau keadaban publik dalam "mengoperasikan" kehidupan bersama sebagai bangsa?

Terorisme Tutur

Secara gradasi makna leksikal, kata dungu (sangat tumpul otaknya, tidak cerdas, bebal, dan bodoh) berada sedikit lebih rendah daripada kata idiot (taraf kecerdasan berpikir yang sangat rendah dan daya pikir yang lemah sekali), tetapi  satu tingkat rasa kebahasaan di atas kata bego (sangat bodoh dan  tolol). 

Dengan demikian, klausa  presiden dungu mengimplisitkan makna tertentu, yaitu bahwa  derajat kecerdasan seorang presiden berada sedikit di atas situasi bego dan sedikit di bawah situasi idiot.

Sebagai sebuah wacana, yaitu tuturan seseorang untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain, klausa presiden dungu sudah sepantasnya merupakan dialektika peristiwa dan arti. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun