Tulisan ini dimuat di kolom Opini Bisnis Indonesia 5 Juni 2020.
Mereka yg menganjurkan mencetak duit Rp600 triliun bahkan Rp4000 triliun, sebaiknya belajar dari sejarah sendiri Indonesia. jangan hanya melihat apa yg dilakukan oleh negara-negara maju dan berhasil.
=======
Popularitas modern monetary theory (MMT) menjadi inspirasi bagi politisi dan mantan menteri mengusulkan mencetak uang guna membiayai anggaran penanggulangan wabah Covid-19 dan menstimulus ekonomi. Apalagi negara-negara besar seperti Amerika, Jepang, UK, dan Euro Zone telah melakukan ekspansi moneter kuantitatif (quantitative easing, QE) untuk menghadapi gejolak ekonomi seperti krisis finansial 2008 dan resesi Eropa 2011.
Meski kebijakan MMT dan QE berbeda, keduanya menggunakan basis yang sama: stimulus dari pencetakan uang fiat (uang tanpa jaminan komoditas).
MMT sendiri adalah konsep ekonomi yang meyakini dalam rejim uang fiat, negara tidak memiliki batasan anggaran dalam upaya mencapai kondisi ekonomi makro yang optimal berupa pertumbuhan dan stabilitas ekonomi.
Meski disebut “modern”, konsep analisa MMT sebenarnya memperbaharui sintesa pemikiran lama seperti: Knapp (1905) “State Theory of Money”, Mitchell-Innes (1913) “Credit Theory of Money”, dan Lerner (1943) “Functional Finance and the Federal Debt”.
Empiris Negara Berkembang
Indonesia pernah menjalankan kebijakan serupa dengan MMT berupa mencetak uang untuk membiayai defisit APBN dan menstabilisasi gejolak finansial, yaitu pada tahun 1960-an dan 1997-1998.
Pada periode 1961-1967, defisit anggaran pemerintah Indonesia mencapai 5% Produk Domestik Bruto (PDB) per tahun, yang dibiayai dengan pertumbuhan uang rata-rata 170% per tahun.
Akibatnya, inflasi mengalami akselerasi dari 20% di tahun 1960 menjadi 600% per tahun pada 1965 dan 1966. Nilai tukar Rupiah juga mengalami kejatuhan dari Rp285 per US$ pada 1960 menjadi Rp14.000 per US$ pada 1965.