Untuk menjadi media sosial terbesar, Facebook harus mengalahkan media sosial ternama pertengahan 2000-an seperti: Friendster, MySpace, Multiply, Orkut, Hi5, dan Tribe. Amazon berevolusi dari penjual buku dan CD menjadi perusahaan ritel online bersaing dengan raksasa seperti Walmart, Costco, Kroger, The Home Depot, dan Target. Saat ini, Amazon menjadi salah satu perusahaan ritel dengan penjualan dan laba terbesar di dunia.
Bandingkan dengan pendanaan raksasa pre-IPO startup IT saat ini: Uber dan WeWork telah memperoleh pendanaan masing-masing US$ 31,4 miliar dan US$18,5 miliar.
Bagi perusahaan startup IT sekarang, modal yang besar tidak memberikan solusi riil apa pun. Pendanaan yang terlalu besar membuat startup IT saat ini: boros, kurang kreatif, dan bersaing dengan menghabiskan uang investor untuk iklan dan subsisdi mitra/konsumen.
Hasilnya: setelah sepuluh tahun berdiri Uber dan WeWork gagal mendominasi pasar, belum mampu mempertahankan diri dari pesaingnya secara mandiri, terus merugi, selalu terancam kehabisan kas, bahkan dibayangi kebangkrutan.
Eforia investasi di startup IT dengan valuasi tinggi terjadi karena banjir likuiditas dari ekspansi kuantitatif (quantitative easing) oleh bank sentral. Investor dengan dana besar, seperti Google, Tencent, dan Sovereign Wealth Fund (seperti The Public Investment Fund of Saudi Arabia) juga ikut berspekulasi di investasi startup IT.
Sebagaimana observasi dari Richard Bernstein, pendiri RBA Advisor, bahwa "Unicorn exist only when money is free" (Mei 2018). Kondisi ini pun diakui oleh Ray Dalio, pendiri dan pemilik hedge fund terbesar di dunia Bridgewater Associates, "Because the world is looking for yield, companies can sell dreams instead of earnings" (5-November-2019).
Tapi eforia dan siklus keuntungan besar dari rekayasa valuasi startup IT sepertinya berakhir di tahun 2019. Harapan investor memudar dengan koreksi tajam harga saham startup IT unggulan seperti Uber, Lyft, Slack, dan kegagalan IPO WeWork. Tanpa keunggulan inovasi teknologi, perusahaan startup ini akan menghancurkan modal dan menyebabkan kerugian bagi investor yang masuk saat IPO.
Catatan: versi sedikit berbeda yang lebih pendek tulisan ini dimuat di harian BISNIS INDONESIA, tgl 18 Desember 2019, dengan judul "Akhir Euforia IPO Startup Teknologi Informasi"