Mohon tunggu...
Siswa Rizali
Siswa Rizali Mohon Tunggu... Konsultan - Komite State-owned Enterprise

econfuse; ekonomi dalam kebingungan

Selanjutnya

Tutup

Financial

Uber dan IPO Perusahaan Merugi

29 April 2019   15:36 Diperbarui: 29 April 2019   16:03 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

tulisan ini dimuat di kolom OPINI, Koran KONTAN, 29 April 2019.

====.

Uber segera akan melakukan penawaran umum saham perdana (Initial Public Offering, IPO) di bursa Amerika. Dengan valuasi sekitar US$ 100 - 120 miliar, IPO Uber bisa menjadi nilai IPO perusahaan startup IT tertinggi dalam sejarah.

IPO Uber menjadi sangat luar biasa mengingat kerugian Uber juga terbesar dalam sejarah startup IT. Di tahun 2018, kerugian operasional Uber sekitar US$ 3,7 miliar. Sedangkan rugi operasional Uber di tahun 2016 dan 2017 masing-masing sebesar US$3 Miliar dan US$ 4,5 miliar. Setelah berdiri 10 tahun (sejak 2009), akumulasi kerugian Uber lebih dari US$ 12,5 miliar.

Keuangan Perusahaan IT

Salah satu alasan mengapa valuasi Uber sangat tinggi karena dianggap memiliki keunggulan seperti perusahaan teknologi Amazon, Facebook, dan Google. Namun, perbandingan kinerja keuangan Amazon, Facebook, dan Google dengan Uber menunjukkan perbedaan yang sangat jauh.

Amazon mencapai laba pertama di tahun 2003 sebesar US$ 35 juta (sekitar 9 tahun setelah didirikan pada 1994) dengan pendapatan sebesar US$ 5,3 miliar. Google untung sekitar US$ 7 juta di 2001, tiga tahun setelah berdiri (1998), dengan pendapatan hanya US$ 86 Juta. Facebook menghasilkan untung di tahun 2009 dengan nilai sekitar US$ 230 Juta, sekitar 5 tahun setelah berdiri. Saat itu pendapatan Facebook mencapai US$ 777 Juta. Ketiga perusahaan IT unggulan ini mencapai laba dalam waktu kurang dari 10 tahun dengan pendapatan yang jauh lebih kecil dari Uber.

Pendapatan Uber tahun 2018 mencapai US$ 11,3 Miliar. Pada saat Amazon, Google, dan Facebook, memiliki pendapatan diatas US$ 10 Miliar, laba masing-masing perusahaan mencapai US$ 190 Juta, US$ 3,1 Miliar, dan US$ 2,9 Miliar.

Bandingkan juga dengan kinerja keuangan Airbnb (berdiri tahun 2008). Pada tahun 2017, Airbnb memperoleh pendapatan 'hanya' US$ 2,6 Miliar dan untung US$ 100 juta.

Monopoli dan Efek Jejaring

Ada yang menganggap kerugian ini bagian dari strategi investasi Uber untuk mencapai skala ekonomi dan efek jejaring (network effect) pengguna aplikasinya sehingga dapat memonopoli pasar. Lagi-lagi mitos strategi monopoli terbantahkan ketika Uber kalah bersaing dan terpaksa keluar dari berbagai pasar strategis seperti China (2016), Rusia (2017), dan Asia Tenggara (2018).

Pada saat ekspansi agresif, kerugian Uber meningkat tajam. Tapi saat Uber keluar dari pasar strategis (China, Rusia, dan Asia Tenggara), kerugian Uber tetap besar. Ini mengindikasikan bahwa tidak ada skala ekonomi, dimana total biaya per unit menurun sejalan dengan meningkatnya skala usaha, di bisnis transportasi taksi ala Uber.

Monopoli juga sulit direalisasikan bila setiap perusahaan baru dengan cepat meniru aplikasi yang dibuat oleh Uber dan menjadi kompetitor utama di setiap negara: DidiChuxing (China), Yandex (Rusia), Ola (India), Gojek (Indonesia), dan Grab (Asia Tenggara).

Efek jejaring, dimana manfaat bagi pengguna aplikasi semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya pengguna, ternyata tidak dimiliki Uber.Dalam bisnis telekomunikasi, pesawat terbang, dan kargo, efek jejaring menjadikan biaya investasi per unit tersebar dalam setiap ekspansi jaringan. Pada saat bersamaan, semakin banyak pengguna jasa, semakin besar pendapatan dari biaya investasi yang sama.

Biaya transportasi taksi didominasi oleh biaya operasional seperti upah supir, perawatan, dan depresiasi mobil, yang tidak dapat menurun sejalan dengan semakin banyaknya pengguna aplikasi Uber. Sebaliknya, penambahan jumlah pengemudi malah meningkatkan persaingan antar mereka, yang kemudian menurunkan penghasilan rata-rata pengemudi.

Aplikasi Uber tidak bisa memperbaiki alokasi sumber daya transportasi perkotaan yang ditandai dengan puncak penggunaan diwaktu berangkat kerja (pagi hari dari jam 6-9) dan pulang kerja (sore/malam jam 5-8). Diantara kedua waktu tersebut, kapasitas transportasi perkotaan banyak yang menganggur. Pilihan jalur pergi/pulang kerja relatif tidak bisa dirubah dengan insentif perubahan harga untuk optimisasi pendapatan perusahaan.

Jejaring efek berlaku secara efektif dan efisien bagi perusahaan IT yang bergerak di dunia maya dan tidak tergantung pada keberadaan benda seperti mobil, motor, dan pengiriman barang. Karena itu efek jejaring berhasil meningkatkan untung bagi Facebook, Google, dan Amazon (khususnya untuk unit marketplace & AWS).

Minimnya efek jejaring di Uber juga kontras dengan efek sejenis di perantara seperti Airbnb. Wisatawan menghadapi informasi yang asimetri dalam mencari tempat menginap di luar daerah/negri. Maka review oleh wisatawan lain sangat bermanfaat untuk membuat keputusan dengan cepat dan biaya minimal. Kontras juga dengan efek jejaring di aplikasi agregator seperti Traveloka yang digunakan untuk mencari harga tiket dan tujuan berlibur paling sesuai selera dan ketersediaan dana.

Manfaat unik Airbnb dan Traveloka memungkinkan pengguna menurunkan berbagai potensi biaya produk dan biaya transaksi (termasuk verifikasi) atas sebuah produk yang sulit dilakukan secara langsung lintas daerah/negara. Efek jejaring serupa berlaku bagi marketplace seperti Alibaba.

Prospek Pengembangan Usaha

Untuk sinergi bisnis aplikasi pemanggil taksi, Uber melakukan ekspansi ke pengantaran makanan (Uber Eats, 2014) dan akuisisi bike-sharing Jump (2018). Lagi-lagi kedua bisnis ini belum mampu memperbaiki kinerja keuangan Uber. Sedangkan kompetitor Uber Eats seperti Grubhub sudah berhasil memperoleh laba.

Akhirnya, Uber berharap dengan mobil tanpa pengemudi (autonomus car). Terlepas kapan mobil otonom dapat terealisasi, mobil otonom dapat mengurangi biaya supir. Tetapi yang dilupakan, mobil otonom akan meningkatkan biaya perawatan mobil, asuransi, riset dan pengembangan, dan kebutuhan modal yang sangat besar bagi Uber.

Perhatikan juga argumen bahwa keunggulan Uber selama ini adalah: tidak memiliki mobil dan menggunakan sumber daya secara paruh waktu (dengan cara sharing). Mobil otonom akan menjadikan Uber sebagai pemilik mobil secara penuh waktu. Pada saat bersamaan, perusahaan-perusahaan yang lebih maju dalam bidang mobil otonom, seperti Waymo (Google), Tesla, GM, BMW, dan Mercedes, akan menjadi kompetitor berat Uber.

Wajar bila Tim O'Reilly, pengamat teknologi dan internet, menyatakan penggunaan mobil otonom akan mempercepat kebangkrutan Uber (boingboing.net, 2 Oktober 2017).

Taksi dengan Aplikasi

Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa aplikasi pemanggil transportasi taksi or ojek tidak unik dan tidak menciptakan hambatan bagi pesaing untuk masuk ke pasar (barriers to entry). Uber tidak lebih daripada sejenis perusahaan taksi dengan aplikasi pemanggil. Nilai manfaat aplikasinya sangat rendah, maka Uber harus memberi subsidi pengemudi dan diskon kepada konsumen. Akibatnya, pengeluaran terbesar Uber adalah insentif pengemudi dan promosi untuk memperoleh pengguna baru. Dengan model bisnis berbasis subsidi besar dan padat karya, Uber lebih menyerupai 'yayasan sosial' bidang transportasi. Akibatnya, Uber terus rugi besar.

Selama investor Uber (seperti SoftBank dan Public Investment Fund, Arab Saudi) bersedia menanggung rugi tersebut, maka bisnis Uber akan berlanjut. Namun setelah sepuluh tahun, para pendiri dan investor Uber sepertinya ingin segera memperoleh untung besar dengan melakukan IPO. Jadi IPO Uber harus dikritisi oleh investor ritel apakah ini sebuah peluang untuk berinvestasi di perusahaan unggulan berbasis IT atau sebuah skema untuk menyelamatkan kerugian besar yang telah ditanggung oleh investor utama Uber.

Faktanya semua perusahaan aplikasi pemanggil transportasi mengalami kerugian besar di tahun 2018, seperti: Didi Chuxing (China, US$ 1,6 Miliar), Lyft (Amerika, US$ 900 Juta), Ola (India, US$ 380 juta), dan Grab (Asia Tenggara). Kerugian perusahaan aplikasi pemanggil transportasi tersebut berbanding terbalik dengan pencapaian perusahaan taksi tradisional yang memiliki keunggulan nyata di lapangan, seperti Blue Bird, yang terus memperoleh untung mencapai Rp 457 miliar (US$ 33 Juta) di tahun 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun