Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

"Social Capital"

18 Oktober 2015   18:13 Diperbarui: 18 Oktober 2015   18:13 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di ujung senja yang mencekam, warga melayat ke sebuah pondok di sebelah barat desa. Berbatasan dengan hutan bambu dan sungai kecil yang airnya menguning saban kemarau tiba, pondok milik Didik dan istrinya, Nipah yang biasa lengang, kali ini dipenuhi warga.

Sesekali isak pilu Nipah terdengar di antara kasak kusuk warga.

Kemarin, suaminya pamit untuk melakoni rutinitas sehari-hari, menyadap enau. Tak disangka, itu saat terakhir kalinya dia melihat suaminya hidup-hidup. Tidak ada yang menyaksikan langsung kejadian naas tersebut. Warga yang pertama kali menemukan, sesama penyadap enau, tahu-tahu melihat jenazah Didik sudah berada di bawah perancah dengan kepala bersimbah darah. Diduga perancah bambu yang digunakan sudah rapuh dan tidak kuat menahan bobot tubuh pak Didik.

Tidak banyak yang tahu perihal keluarga Nipah dan pak Didik. Warga desa hanya tahu, keluarga yang tinggal di ujung Desa itu menyambung hidup dengan menjual hasil sadapan enau. Anak pertama mereka merantau ke luar negara. Setelah itu hampir delapan tahun, tidak pernah ada kabar lagi darinya. Anak kedua mereka yang telah menginjak SLTA, diboyong oleh bibinya untuk bersekolah di kota.  

Hari semakin malam. Untunglah pondok kecil itu diterangi dua lampu pijar yang disuplai daya dari genset milik Masjid. Pak Bagus, kepala desa, memberikan ucapan berbelasungkawa kepada Nipah. Di bawah bayang-bayang lampu pijar, Nipah menangkap ada getaran aneh dari sorot mata Kepala Desa itu. Bukan getaran yang menyejukkan. Di antara kemelut otaknya, Nipah masih sempat memutar memori dan mengingat istri-istri kepada Desa sebelumnya. Salah satunya adalah kawan karibnya semasa SD dulu. Kendati sudah berkepala empat, mak Nipah memang sebenarnya masih menyimpan kecantikan masa mudanya.

Tidak ada warga yang mengetahui sorot mata tersebut. Semuanya larut dalam suasana haru biru. Tidak ada pula warga yang tahu, termasuk almarhum pak Didik, kalau tujuh hari yang lalu Bagus mampir ke pondok mak Nipah. Bukan urusan administrasi desa. Bukan pula perihal agenda masyarakat desa. Yang jelas saat itu mak Nipah seorang diri di rumah. Dan kunjungan “rahasia” ini sebenarnya bukan yang pertama.

Mak Nipah di tengah dukanya membatin pilu, tidak pernah menyangka kalau Kepala Desanya bisa berbuat sejauh ini.

Usai tahlilan malam itu, di belakang rumahnya, Bagus menyodorkan beberapa lembar ratusan ribu kepada seorang pria bertampang bengis, seorang penyadap enau yang pertama kali menemukan jenazah pak Didik.

Tak sampai sebulan kemudian, pak Kepala Desa pun melamar Nipah, dan tak sampai sebulan berikutnya acara pernikahan mereka dilangsungkan. Hari bahagia Bagus dan Nipah, istri ke-empatnya itu, berlangsung meriah dan gempita.

Sebuah teka-teki kecil telah terkubur dalam-dalam bersama jenazah pak Didik di dalam tanah berkapur.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun