Aku menghempaskan kenangan
Dari jendela kamar yang terbuka, aku dapat melihat langit sedang mengusir awan-awan untuk memamerkan puluhan rasi bintang.
Mata kameraku sebenarnya masih haus panorama. Aku bisa saja memilih berada di salah satu rooftop pencakar langit, atau di jembatan jalan-jalan metropolitan ditemani tripod dan kopi instan, bermain dengan diafragma dan eksposur.
Tapi dari antara semua tempat itu, aku lebih memilih berada di sini, berdiam diri di atas tempat tidur. Membiarkan diri dikecup angin malam lalu menghempaskan kenangan dan kerinduan yang mungkin tak akan pernah tersampaikan.
Gadisku telah pergi.
Dia berlayar menyusuri langit malam menggunakan salah satu gugus bintang, menuju kepada keabadian. Tidak, jangan salah. Dia bukan meninggal.
Beberapa hari sebelum dia pergi, gugus bintang berbentuk kapal dengan layar raksasa muncul di langit. Setiap malam gugus bintang itu bergerak dari utara ke selatan. Dia menyebutnya Daruman.
"Aku mencintaimu. Kamu harus tahu itu."
"Aku harus pergi..."
"Mereka membutuhkanku..."
Gadisku berulang kali mengucapkan kalimat-kalimat seperti itu dengan wajah cemas. Tangannya menggenggam tanganku erat-erat, seperti tak ingin melepasku lagi.