Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

UAS Sudah Betul, Tidak Perlu Minta Maaf

22 Agustus 2019   18:16 Diperbarui: 22 Agustus 2019   18:26 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Video ceramah Ustad Abdul Somad (UAS) tentang jin kafir dalam patung dan salib menjadi content yang viral beberapa hari terakhir. Ceramah yang menjadi polemik ini berujung pada kedatangannya di MUI Pusat kemarin (21/8) untuk memberi klarifikasi. 

UAS adalah salah satu anggota Komisi Fatwa di MUI Provinsi Riau, tetapi kedatangannya tersebut sebagai undangan terkait ceramah yang menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat.

Terkait permintaan dari sejumlah pihak agar UAS meminta maaf karena sudah menyinggung agama lain, UAS memberikan beberapa klarifikasi. Seperti ditayangkan pada portal tribunnews.com, ada lima poin  klarifikasi yang menguatkan argumen bahwa UAS tidak perlu meminta maaf terkait potongan video yang menjadi kontroversi tersebut.

Pernyataan ini kembali menjadi polemik. Warganet sendiri terbagi menjadi dua pihak menyikapi hal tersebut. Ada yang kontra tetapi tidak sedikit pula yang mendukung keputusan UAS. Kemarin malam tagar #UAS_WeLoveYou yang menjadi trending topic di linimasa twitter menegaskan dukungan tersebut.

Saya sendiri lebih condong ke pihak yang kedua. UAS sudah betul, tidak perlu meminta maaf terkait ceramah tersebut.

Alasannya sederhana saja dan sudah dikonfirmasi sendiri oleh UAS. Potongan ceramah yang mengundang polemik tersebut sebenarnya adalah kejadian tiga tahun lalu, saat UAS menjawab pertanyaan jamaah di Masjid An-Nur Riau. Kejadiannya baru ngetop belakangan ini, karena warganet mengunggah potongan videonya dan ramai-ramai dibagikan di dunia maya.

Pertanyaan yang harus direnungkan adalah: kalau UAS harus minta maaf, permintaan maaf dilakukan karena ceramahnya atau karena ceramah tersebut menjadi viral? 

Kalau karena ceramahnya, mestinya tidak relevan lagi karena tiga tahun lalu saat kejadian berlangsung tidak ada orang atau pihak yang tersinggung, bukan? Kalau harus minta maaf karena ceramahnya kemudian menjadi viral dan menyinggung pihak lain, permintaan maaf itu juga sudah tidak substantif lagi. 

Kejadiannya sudah tiga tahun lalu. Dalam rentang waktu tersebut, kita sudah tidak bisa menghitung sejauh apa jangkauan ceramah UAS di tengah-tengah masyarakat. Meminta maaf karena kejadian tiga tahun lalu yang menjadi viral kesannya hanya untuk kompromi saja. Dan ini bukan akar masalah sebenarnya.  

Permasalahan yang harus dipikirkan bersama adalah bagaimana agar semua pemimpin agama, agama apapun itu, mengajak umatnya untuk selalu saling menghormati baik dalam kalangan sendiri maupun dengan masyarakat luas, yang berbeda agama.

Jika ada pengetahuan-pengetahuan agama yang ternyata berbeda (atau bahkan bertentangan) antara agama yang satu dan yang lain, para pemuka agama berkewajiban memberi penjelasan sejelas-jelasnya menurut dalil agama yang dianutnya dan yang paling penting diikuti dengan closing statement bahwa semua agama tentu merasa ajaran agamanya yang paling benar, jadi umat tetap wajib menghormati penganut agama yang lain.

Dengan demikian masyarakat akan merasa perbedaan dalam beragama akan semakin memperkaya kehidupan berbangsa dan bernegara, bukannya semakin memperbesar gesekan antar masyarakat terutama di tingkat akar rumput.

Jadi sekalipun pada akhirnya UAS meminta maaf, tetapi tidak ada upaya terpadu yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan mulai dari pemerintah selaku regulator sampai kepada para tokoh dan pemimpin agama untuk mewujudkan kehidupan antar umat beragama yang lebih harmonis dan damai, masalah seperti ini akan terus terjadi di masa-masa mendatang. (PG) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun