Mohon tunggu...
Phitaloka
Phitaloka Mohon Tunggu... Ilustrator - We born to make history

Pengetahuan itu letaknya di otak, tapi ilmu itu letaknya di hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kesenjangan antara Ekspektasi dan Realita Cita-cita Pancasila di Era Milenial

22 Desember 2019   16:00 Diperbarui: 22 Desember 2019   16:04 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pancasila sebagaimana yang kita ketahui adalah  ideologi negara kita. Dirumuskan dengan kerja keras peluh para founding fathers di Indonesia. Bukanlah suatu hal yang dirumuskan secara sepele saja. Pancasila sebagai dasar kenegaraan kita berperan penting dalam pedoman kita dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Di dalamnya pun tersimpan cita-cita luhur bangsa Indonesia yang tersimpan dengan rapi dan apik di dalam sila-sila pancasila yang saling berkaitan, berhubungan dan menguatkan satu sama lain. Cita-cita yang diharapkan dalam pencapaian kemaslahatan umum bagi bangsa Indonesia. Direalisasikannya karakter bangsa yang selalu menerapkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Serta selalu menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang sesuai di dalam butir-butr pancasila yang merupakan sebagai cita-cita luhur bangsa Indonesia.

Sekarang, mungkin seringkali kita mendengar istiilah 'realita berbeda dengan eksptasi'. Lantas, bagaimana kah istilah itu jika kita hubungkan dengan realita internalisasi pancasila di era milenial sekarang ini?

Mestinya dengan pencapaian cita-cita melalui pancasila maka anak milenial di zaman sekarang ini akan menjungjung tinggi nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, yang kita lihat sekarang ini, nampaknya ada serangkaian serbuan tombak-tombak besar yang sudah mulai merongrong nilai-nilai pancasila secara masive di dalam benak bangsa Indonesia. Lantas, apakah tombak-tombak besar yang dimaksudkan itu?

Yang pertama mesti kita perhatikan adalah: globalisasi.

Dengan adanya era globalisasi ini, dunia sudah seperti tak memiliki sekat. Orang-orang dari berbagai macam penjuru dunia dapat berkomunikasi dan bertukar informasi dengan mudahnya hanya dengan bertatapan dengan teknologi bernama gadget. Duduk diam di rumah sudah bisa mempelajari beragai keadaan sosial budaya atau apa pun itu yang berasal dari penjuru dunia. Negara kita sendiri cenderung menjadi terbuka dalam menerima budaya-budaya dan pemikiran-pemikiran yang berasal dari luar.

Penerimaan pengaruh dari luar yang tidak disikapi dengan benar inilah yang membawa dampak buruk terhadap terealisasikannya penerapan nilai-nilai pancasila yang merupakan salah satu bagian darti cita-cita luhur pancasila agar dapat menjunjung tinggi nilai-nilai moral pancasila.

Tentunya tidak semua pengaruh dari luar akan memberikan dampak yang buruk. Sebenarnya fenomena globalisasi ini diharapkan akan memberi dampak yang baik demi kemajuan bangsa. Akan tetapi hal itu tergantung lagi bagi yang menerima pengaruh-pengaruh dari fenomena globalisasi tersebut. Apakah mereka bisa menyaring dengan baik pengaruh globalisasi yang telah mendunia itu, atau tidak.

Jika tidak adanya kemampuan untuk menyaring pengaruh dari luar dengan baik, tentunya akan memberi dampak buruk.

Seperti yang kita ketahui mengenai sifat dan sikap para anak generasi milenial sekarang. Anak generasi milenial cenderung menginginkan sesuatu yang serba instan. Sesuai dari pengaruh fenomena globalisasi yang diterima, yang mana dengan teknologi semua hal bisa dilakukan dengan serba cepat dan instan serta canggih tanpa usaha yang sangat begitu berarti--dalam beberapa arti tentunya. Sehingga yang ikut terbawa di dalamnya pun cenderung condong kepada segala hal yang instan dan tidak merepotkan. Sehingga hal ini membawa dampak yang buruk bagi anak generasi milenial.

Inginnya segala hal dicapai secara instan. Budaya malas membaca buku mulai merambah di kalangan anak muda generasi milenial sekarang ini. Ingin mengetahui isi dari sebuah buku hanya dengan membaca bagian ringkasan buku. Cendurung tidak mau berlama-lama menghabiskan waktu untuk membaca keseluruhan dari buku yang tebal, bahkan yang tipis sekali pun. Jangankan buku, bahkan saat melihat video di internet bisa banyak men-'skip' video yang dimainkannya. Agar segera cepat mengetahui isi dari video itu.

Dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan pun juga cenderung ingin dengan cara yang instan dan cepat selesai. Contoh simpelnya adanya budaya menyontek. Karena malas mencari jawaban tugas, akhirnya hanya sekedar menyalin jawaban temannya. Terlebih lagi kalau ada yang melakukannya di saat ujian. Apalagi adanya juga orang yang berusaha mendapatkan jabatan, tapi dengan cara menyuap. Tanda tidak maunya berusaha untuk mencapai hasil yang diinginkan. Sekedar mau cara yang instan saja. Padahal untuk mencapai kesuksesan sudah semestinya tidak bisa hanya dengan sekedar mengandalkan cara yang instan saja, melainkan perlu usaha yang keras dan waktu yang lama. Butuh doa dan kesungguhan yang kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun