Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Beauty Artikel Utama

Generasi La Sape, Biar Miskin Asal Gaya

7 Mei 2019   13:40 Diperbarui: 16 Juli 2022   18:18 4896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: telegraph.co.uk

Kita telah sering mendengar pepatah "Lebih besar pasak daripada tiang." Pepatah ini mengingatkan kita untuk menjaga pengeluaran tidak melebihi pendapatan yang diterima. Atau, bisa juga diartikan, jangan mengajukan kredit dengan angsuran sebesar gaji bulanan. Sudah pasti minus.

Ini adalah sebuah prinsip bertahan hidup yang logis. Gaya hidup hedonis hanya membuat hidup merana. Demikian baiknya prinsip ini sehingga seharusnya berlaku universal. Kenyataannya, "Lain padang lain ilalang." Lain daerah, lain pula gaya hidupnya.

Beberapa daerah di Indonesia dikenal dengan stereotype orang-orang yang bergaya hidup boros. Sejumlah jargon sindiran akrab di telinga masyarakat daerah tertentu, seperti "BiMAS (Biar Mati Asal Stand)", "Biar gak makan nasi yang penting aksi", dsb.

Namun, tidak ada contoh hedonisme yang lebih ekstrem selain dari yang terdapat di Kongo, Afrika. Orang-orang yang tergabung dalam komunitas La Sape menjungkirbalikkan semua tiang ekonomi.

Ketika sebagian besar populasi di negeri itu sulit mencari makan dan air bersih, komunitas La Sape memusingkan dirinya menemukan pasangan dasi yang cocok dengan sepatu.

Lebih Besar Sapeur daripada Tiang

Sape adalah akronim dari "Societ des Ambianceurs et des Personnes Elegantes". Terjemahan bebasnya: "Komunitas Trend-Setter dan Orang-Orang Elegan". Anggotanya disebut Sapeur. Mereka penggila fesyen.

Seorang Sapeur suka tampil di jalan-jalan layaknya pria parlente (dandy) bangsa Eropa, lengkap dengan setelan jas, topi, sepatu kulit, kacamata, jam tangan, bahkan payung. Semuanya branded orisinil, kualitas nomor satu.

Di Brazzaville, ibukota Kongo, para Sapeur berkumpul setiap akhir pekan untuk saling memamerkan penampilan mereka. Mereka puas bila orang-orang yang melintas memuji mereka. Mirip seperti persimpangan Harajuku di Jepang. Hanya saja, latar jalan-jalan miskin berlumpur di sekeliling mereka membuat pertunjukan itu kontras dan sedikit surealis.

Hanya saja, latar jalan-jalan miskin berlumpur di sekeliling mereka membuat pertunjukan itu kontras dan sedikit surealis.

Konon, gaya hidup ini dimulai dari seorang remaja pria bernama Jean Marc Zeita yang pindah ke Paris pada 1976. Di sana ia membentuk komunitas yang meniru gaya penampilan orang Perancis. Sepulang dari Paris, kebiasaan itu ia populerkan di kampungnya.

Hobi demikian tentu memerlukan banyak biaya. Harga busana Sapeurs rata-rata empat kali lipat lebih besar dari penghasilan bulanan mereka. Baju-baju dan aksesoris-aksesoris itu didatangkan langsung dari Paris. Pakaian KW dianggap tabu.

Harga busana Sapeurs rata-rata empat kali lipat lebih besar dari penghasilan bulanan mereka.

Demi mendapatkan busana terbaik, banyak di antara mereka tidak ragu meminjam uang sampai ribuan dollar. Bahkan, untuk memenuhi nafsu hedonis itu, mereka rela tidak jadi pindah ke rumah yang lebih baik atau menangguhkan pembayaran uang sekolah anaknya. Seringkali seorang Sapeur tidak memiliki pasokan air di rumahnya, tetapi di lemarinya tergantung beberapa baju Dolce & Gabbana.

Seringkali seorang Sapeur tidak memiliki pasokan air di rumahnya, tetapi di lemarinya tergantung beberapa baju Dolce & Gabbana.

Seiring berkembangnya hobi tersebut, muncullah filsafat sapologie untuk membenarkannya. Sapologie berfokus pada usaha menumbuhkan rasa percaya diri di tengah situasi yang buruk.

Generasi La Sape di Era Media Sosial

Kota Manado telah lama dituding sebagai tempat maraknya budaya konsumtif. Saya pikir, itu benar adanya. Indikasi gaya hidup hedonis tampak jelas dari kesukaan orang-orang berpesta. Meski berpenghasilan pas-pasan, sebuah keluarga mati-matian mengadakan pesta yang wah agar tidak mendapat malu.

Ada banyak cerita seperti itu. Sebuah pesta sweet-seventeen diadakan di sebuah hotel berbintang lima bagi seorang remaja putri. Sehari-hari gadis itu ke sekolah naik angkot.

Di tempat lain, sebuah keluarga menyajikan bermeja-meja penuh makanan dalam sebuah ibadah perayaan ulang tahun di rumahnya yang reyot.

Sebuah pesta sweet-seventeen diadakan di sebuah hotel berbintang lima bagi seorang remaja putri. Sehari-hari gadis itu ke sekolah naik angkot.

Gubernur Sulut, Olly Dondokambey, mengakuinya tendensi itu. Oleh karena itu, dalam sebuah acara yang digagas Bank SulutGo (manado.tribunnews.com; 2/5), ia mengingatkan generasi muda untuk menghindari gaya hidup konsumtif.

Generasi milenial hidup di era media sosial. Pamerisasi foto atau story linimasa di media-media sosial menumbuhkan tuntutan untuk selalu tampil wah.

Akibatnya, sepatu dan tas branded, nongkrong di Starbucks, gawai baru, hingga kartu kredit sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari.

Gaya hidup ala Sape demikian tentu menguras banyak uang. Celakanya, generasi milenial yang notabene baru bekerja memiliki gaji bulanan yang hanya cukup untuk makan, sewa kos, dan ongkos. Situasinya semakin parah pada mereka yang suka pindah-pindah kerja dengan alasan tidak cocok.

Alhasil, para Sapeur milenial makan siang di resto kelas atas, tetapi setiap malam tidur di kasur busa. Rela menderita demi sebuah gaya hidup yang lebih besar pasak daripada tiang.

Alhasil, para Sapeur milenial makan siang di resto kelas atas, tetapi setiap malam tidur di kasur busa.

Jika gaya hidup seperti ini terus dipertahankan, masa depan suram menanti. Generasi muda harus belajar mengontrol keuangan pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun