Mohon tunggu...
Phadli Harahap
Phadli Harahap Mohon Tunggu... Freelancer - Aktif di Komunitas Literasi Sukabumi "Sabumi Volunteer"

Seorang Ayah yang senang bercerita. Menulis dan Giat Bersama di sabumiku.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Polisi Pernah SMA dan (Mungkin) Corat-coret Seragam Juga, Kok!

7 April 2016   22:11 Diperbarui: 8 April 2016   13:36 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto: antarafoto.com"][/caption]Sebagai seseorang yang pernah lulus SMA, aku tahu begitu gembira rasanya sesaat selesai ujian nasional. Mungkin, anda juga tahu seperti apa rasanya. Waktu itu, aku siapkan pilox 3 biji dan kumasukkan di dalam tas sebelum pergi ke sekolah. Rupa-rupanya kabar berembus, ada pula razia pilox oleh guru konseling. Aku simpan pilox itu diatas asbes yang sengaja dipecahkan sama kawanku. Jangan sampai semua senjata rahasia untuk merayakan pesta mencorat-coret baju sekolah disita guru. Aman rupanya, guru tak curiga kalau pilox yang dicari ada tepat di atas kepalanya, di atas asbes atap ruangan kelas itu.

Setelah selesai ujian nasional dan guru pengawas keluar dari kelas, dibantulah sama si Ucok mengambil semua pilox dan spidol. Dan... Pesta pun dimulai. Kami corat-coret baju tepat di depan pintu kelas. Tak ada guru yang menegur. Mau apa pula guru itu, sudah beresnya kami ujian. Lucunya, kawanku si Ucok, disalamnya Pak Salim dan dimintanya tanda tangan di bajunya. Abis itu disalam dan diciumnya tangan guru itu. Pak Salim tak marah, dia pasti tahu anak didiknya sedang gembira ria.

Setelah itu, Brem... Brem... Kami berkeliling kota merayakan kelulusan SMA dan melanjut ke tempat wisata. Oh senangnya, lepas semua beban ujian itu, lulus tak lulus urusan nantilah. Yang penting rayakan dulu dengan corat-coret baju sekolah itu.

Kenangan. Itulah ingatan saya ketika baru menyelesaikan ujian nasional dulu dan saya pun tercatat mampu lulus SMA dengan nilai yang lumayan pas-pasan. Bagi saya, corat-coret baju itu bagian dari pelampiasan dan simbol kebebasan seorang anak didik yang lepas dari betapa bebannya belajar di sekolah. Saya merasakannya, kalau anda tidak ya syukurlah. Yang namanya kebebasan tentu harus dirayakan, meski seringkali memang kelewat batas, dengan melakukan konvoi kendaraan. Meski begitu, saya corat-coret baju sekolah bagi saya bagian tak terlupakan dari masa SMA.

Hal yang sama seperti pengalaman saya dulu, mungkin dialami oleh Sonya. Menurut saya, Sonya hanya merayakan kegembiraan selepas ujian sekolah. Hanya kebetulan, sangking gembiranya Sonya tak taat lalu lintas dan fatal memang dia membawa nama seorang jenderal yang memang bagian dari keluarga besarnya. 

Seperti ramai diberitakan tentang Sonya yang melawan saat diberhentikan polisi. Padahal kalau pun dibawa ke kantor polisi paling ditindak dengan peringatan ringan saja. Saya mengalaminya ketika mobil yang kami sewa diarahkan ke kantor polisi karena sebagian kawan duduk di atas mobil sambil bersorak-sorai. Setelah diperingatkan oleh polisi, masalah beres dan tak ada persoalan berarti. Wong, polisinya juga pernah SMA dan mungkin mencorat-coret baju seragamnya juga.

Apa yang dilakukan Sonya mewakili tingkah laku begitu banyak siswa yang baru selesai ujian nasional di negeri ini. Hal tersebut menjadi hal biasa. Sonya hanya apes tindakannya mengomeli polisi dan membawa nama sanak keluarganya direkam oleh seseorang. Sialnya, video itu menjadi viral di media sosial. Jadilah, dia tertuduh yang seolah-olah tindakannya tak pernah dilakukan oleh orang lain.

Sonya terpuruk. Banyak orang seolah-olah merayakan bullying secara berjamaah di media sosial. Tak peduli tahu atau tidak pangkal masalahnya, banyak orang yang ambil tindakan memaki dulu, untuk mengetahui perkara penyebab masalah belakangan. Orang tak coba memahami bagaimana perasaan seorang anak yang baru Ujian Nasional. Tidak menjadi pertanyaan pula, kenapa seorang anak yang baru lulus SMA berani melakukan hal yang senekat itu, membawa-bawa nama seorang dari sanak keluarga besarnya. Pertanyaan saya malah ingin mengarahkan kepada dunia pendidikan. Apa yang terjadi dengan sistem pendidikan kita, sehingga terjadi apa yang dilakukan oleh Sonya?

Oh ya, para pembaca yang berbudi sekalian jangan lupa, Sonya masih tergolong usia anak-anak yang harus dilindungi. Media massa tak pantas menyiksa batin Sonya dan turut membagikan videonya di dunia maya.

Pendidikan Rusak-rusakan
Darmaningtyas, dalam bukunya berjudul Pendidikan Rusak-rusakan menyebutkan apa yang terjadi dalam dunia pendidikan sudah sedemikian rusaknya. Sekolah hanya mencetak anak-anak yang sekadar lulus sekolah saja. Dunia pendidikan bukanlah sebagai tempat yang nyaman bagi siswa. Sekolah tak ubahnya penjara yang begitu mengekang. 

Bukan rahasia lagi, kalau ujian nasional menjadi momok yang menakutkan, harus dipelajari hari demi hari, dan apesnya nilai dari ujian itu menentukan kemampuan siswa. Siswa dengan kemampuan dan bakat yang berbeda diukur dengan penilaian yang sama, yaitu mata pelajaran yang diatur oleh negara. Tak ada kebebasan bagi siswa untuk memilih dalam belajar apa yang dia suka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun