Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memahami Pendidikan Dasar Konteks Asmat

21 Desember 2019   23:55 Diperbarui: 22 Desember 2019   00:04 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Staf Ahli Bidang Hubungan Pusat dan Daerah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, James Modouw saat kunjungan kerja ke SD YPPK Santo Antonius Padua, kampung Yepem, 21 Februari 2018. Dokpri.

Apabila kita menyusuri sungai-sungai di Asmat, kita melihat di tepi sungai ada bevak-bevak. Di situlah keluarga-keluarga Asmat tinggal beberapa minggu bahkan berbulan-bulan untuk mencari makanan di dusun. Bevak menjadi rumah mereka. Meskipun sederhana, tanpa listrik dan berada di tengah hutan, tetapi kesatuan mereka dengan alam dan leluhur selalu menjadi alasan mereka menikmati hari-hari menyenangkan tanpa beban apa pun.

Guru Abraham menuturkan bahwa untuk memberikan penyadaran kepada orang tua supaya bisa mengarahkan anak-anak ke sekolah, maka harus ada pendekatan pribadi ke keluarga-keluarga. Pastor dan guru harus dekat dengan orang tua di kampung. 

Melalui pendekatan pribadi itulah Pastor dan guru mengingatkan orang tua untuk mengarahkan anak-anak ke sekolah. Tanpa pendekatan pribadi, orang tua tidak akan merasa bahwa pendidikan formal bagi anak-anak itu sangat penting untuk masa depan anak-anak mereka.

Faktor lain menyangkut ketertarikan anak-anak pergi ke sekolah. Mengapa anak-anak Asmat tidak tertarik pergi ke sekolah formal? Sekolah-sekolah di Asmat, baik yang berada di pusat kota Agats, yang guru-guru aktif mengajar maupun sekolah di pedalaman yang jarang ada guru sama-sama menerapkan kurikulum yang berasal dari pemerintah pusat (Jakarta).

Anak-anak Asmat dibuat terasing dengan seragam sekolah. Mereka juga harus menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu, anak-anak diindoktrinasi untuk menerima segala hal yang diberikan guru. Anak-anak Asmat tidak mendapatkan ruang lebih luas untuk belajar dari apa yang ada pada mereka, ada-istiadat dan budaya mereka.

Anak-anak Asmat dicabut dari kebiasaan hidup mereka. Kebiasaan mencari ikan, udang dan kepiting dianggap bukanlah pelajaran. Tradisi mengukir dan menganyam di kalangan orang Asmat tidak ditempatkan sebagai media pembelajaran.

Apakah anak-anak akan tertarik pada dunia asing yang tidak menyenangkan? Pendidikan dasar yang membentuk karakter dan nilai anak-anak Asmat justru tidak berdasarkan nilai-nilai yang dihayati orang Asmat tetapi berasal dari luar. Anak-anak Asmat dibawa ke dalam suatu situasi yang tidak mereka ketahui sebelumnya. Akibatnya, sekolah dasar menjadi tidak menarik bagi anak-anak Asmat.

Pendidikan dalam konteks Asmat perlu berangkat dari kebiasaan, adat-istiadat dan budaya orang Asmat. Cara menyapa, pemakaian bahasa dan bahasa tubuh guru perlu memperhatikan kebiasaan hidup orang Asmat. Hanya dengan pendekatan berbasis budaya, adat-istiadat dan alam (geografis), maka pendidikan dasar di Asmat akan mengalami kemajuan signifikan.

Selama ini, para guru di Asmat, masih cenderung menggunakan pendekatan formal yang berasal dari Jakarta. Apa indikatornya? Kita bisa melihat, anak-anak di kampung terpencil pun wajib menggunakan seragam merah-putih. Selain itu, sekolah diredusir sebatas datang ke dalam ruang kelas. Di dalam kelas, guru berdiri di depan dan anak-anak duduk di kursi. Guru memberikan materi pembelajaran. Anak-anak mendengar dan mencatat.

Kita jarang menemukan guru-guru mengajar secara inovatif: membuka ruang diskusi, menuntun anak-anak secara mandiri mengungkapkan ide dan pikiran mereka dalam bentuk puisi, cerita dan gambar-gambar. 

Padahal, anak-anak memiliki kemampuan melakukannya. Anak-anak Asmat jarang mendapatkan ruang dan kesempatan untuk mengekspresikan diri dan kemampuannya. Anak-anak Asmat justru disuguhkan materi pembelajaran yang asing dan jauh dari realitas kehidupan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun