Nusa Tenggara Timur (NTT) terkenal sebagai daerah mayoritas penduduknya menganut agama Kristen. Papua pun sama. NTT terkenal juga karena banyak penduduknya hidup miskin. Papua pun sama. NTT menyandang gelar korupsi paling tenar. Papua pun demikian.
NTT memiliki hamparan gunung dan bukit gersang. Papua memiliki gunung, bukit dan laut yang kaya akan sumber daya alam. Beberapa tahun terakhir tingkat kelulusan siswa/i di NTT menduduki tempat terendah. Papua hampir memiliki tingkat kelulusan tertinggi di nusantara.
Gambaran situasi ekonomi sosial dan budaya di kedua wilayah ini, memiliki kesamaan dan perbedaan. Kesamaan paling menonjol adalah sama-sama menyandang wilayah dengan penganut agama Kristen terbesar, yang memiliki tingkat korupsi dan kemiskinan paling tinggi.
Kita lihat kontras yang sangat tajam, antara pengaruh kekristenan dan perilaku hidup di tengah masyarakat. Saya selalu terusik bukan karena mau supaya di mana ada orang Kristen di situ lahir kesucian, melainkan karena kekristenan ternyata kurang membantu manusia NTT dan Papua untuk hidup jujur, suci, berlaku adil dan membina solidaritas. Saya tahu banyak orang akan membantah dan kurang setuju dengan pendapat ini, tetapi kenyataan memang demikian dan harus diungkapkan secara jujur, tanpa menutupi kebobrokan sosial ini.
Pejabat NTT dan Papua umumnya didominasi orang Kristen (Katolik dan Protestan), tetapi coba perhatikan dengan seksama, berapa pejabat yang melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan iman dan keyakinannya akan Yesus Kristus? Rupanya saat di kantor mereka tidak lagi mengindahkan ajaran agamanya, sehingga mereka berani korupsi. Rupanya saat kunjungan ke luar daerah mereka lupa akan ajaran imannya sehingga mereka tidur dengan perempuan lain. Bahkan tidak jarang ada pejabat yang menghamburkan uang di diskotik, bar, hotel, dan tempat hiburan lainnya. Orang-orang ini adalah penganut agama Kristen, yang setiap hari Minggu pergi ke gereja dengan membawa Alkitab. Mereka duduk di bangku terdepan. Para pejabat ini, kalau ada ibadah pada acara tertentu, mereka memberikan sambutan yang sangat bagus. Namun, kelakuan hidup mereka sangat bobrok.
Sampai saat ini, rakyat NTT dan Papua tetap hidup miskin dan menderita, karena ulah pejabatnya yang korup. Mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Pelayanan kesehatan, pendidikan, perekonomian dan perumahan jauh dari standar minimal. Banyak rakyat, warga NTT yang kemudian merantau bahkan sampai di Malaysia untuk mencari nafka, menjadi pembantu rumah tangga dan pekerja lepas di perkebunan sawit. Sedang rakyat Papua yang sudah sedikit, hidup di gubuk-gubuk di tengah hutan dengan tidak mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Realitas kehidupan moral pejabat NTT dan Papua, yang merosot, dan penuh korup disandingkan dengan kehidupan rakyat di kedua wilayah ini yang jauh dari tingkat kesejahteraan menjadi tamparan wajah Gereja di kedua wilayah ini. Sejauh mana Gereja dan para hamba Allah melihat realitas ini? Sayangnya, banyak kali Gereja istitusi diam! Gereja lebih memilih sikap netral dan abu-abu. Saya tidak tahu Gereja ada di pihak mana, tatkala menyaksikan warganya menderita gizi buruk dan mati karena ditembak aparat keamanan. Saya tidak tahu sejauh mana Gereja merasa prihatin atas bobroknya moral para anggota jemaatnya yang duduk di pemerintahan. Pemimpin Gereja lagi-lagi diam! Para hamba Allah rupanya tidak bedah jauh dengan pejabat pemerintah, yang menikmati kemewahan di atas singgasana; sementara warga Gereja yang menderita tidak digubris. Saat ada anggota Gereja yang mati karena ditembak, mati karena gizi buruk, mati karena kelaparan; para pemimpin Gereja bilang, ini kehendak Tuhan. Ini peristiwa iman. Kita harus terima. Bagi saya ini tipu!
Di Papua, hanya ada dua pastor imam yang sungguh-sungguh berjuang menegakkan Injil Tuhan. Mereka adalah Pastor Neles Tebay Pr dan Pastor John Djonga Pr. Mereka menjadi ikon perjuangan orang kecil yang tertindas. Sementara Gereja Katolik sebagai institusi hingga saat ini masih diam! Gereja Katolik diam, karena para pemimpinya kurang peduli dengan realitas sosial warga masyarakat. Pemimpin Gereja Katolik di Papua lebih suka atur liturgi ketimbang memperhatikan penderitaan umat Allah, yang tersebar di kampung-kampung. Jangankan di kampung-kampung, di pinggiran kota saja tidak ada yang peduli. Apa lagi di kampung-kampung yang terpencil. Hal yang sama tentu terjadi di NTT, pemimpin Gereja mana yang mau peduli dengan penderitaan jemaat, yang turun ke kampung-kampung terpencil dan mendengarkan keluh kesah anggota jemaatnya?
Menyimak tumpulnya nurani pejabat pemerintahan yang beragama Kristen dan sikap malas tahu para pemimpin Gereja di NTT dan Papua, saya masih terhibur oleh nabi zaman ini yang hadir memberikan pencerahan. Dia adalah Jokowi, Gubernur DKI Jakarta, yang menampilkan kepemimpinan seperti yang ditunjukkan Yesus, saat mengelilingi tanah Palestina mewartakan Kabar Baik hingga mati di kayu salib di Kalvari.
Saya malu kalau nonton TV atau baca berita di koran yang cerita tentang Jokowi pergi ke perkampungan kumuh, bertemu dengan para pemulung, bertemu dengan para preman dan lain sebagainya. Bagaimana dengan pejabat pemerintah yang mengaku diri Kristen tetapi sukanya tinggal di istana dan korupsi serta hamburkan uang rakyat? Bagaimana dengan pemimpin Gereja yang tinggal di istana mewah dan melupakan jerit tangis anggota jemaatnya yang menderita karena gizi buruk, sakit, tidak bisa sekolah? Apakah orang-orang ini tidak melihat Jokowi yang tidak mengenal Yesus, tetapi melakukan apa yang Yesus kehendaki? Sementara pejabat pemerintahan yang beragama Kristen dan pemimpin Gereja tahu Yesus dan ajarannya dengan sangat baik, tetapi tidak melakukannya.
Catatan refleksi ini, saya buat bukan karena saya benci pada para pemimpin yang beragama Kristen di NTT dan Papua, melainkan sebagai kritik tajam atas perilaku dan sikap para pejabat Kristen yang bobrok. Saya juga kritik para pemimpin Gereja Katolik dan Protestan di NTT dan Papua, karena memilih diam tatkala melihat dan menyaksikan ketimpangan pembangunan yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Saat ada warga Gereja yang menderita gizi buruk, tidak bisa berobat dan tidak bisa sekolah, para pemimpin Gereja diam! Di manakah suara kenabian Gereja?
Akhirnya, saya menyampaikan limpah terima kasih kepada para pejabat pemerintahan di NTT dan Papua, yang telah sungguh-sungguh bekerja dengan jujur dan adil, yang telah mendedikasikan hidupnya demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat di kedua wilayah ini. Saya juga bangga memiliki sosok Jokowi yang menjadi model pemimpin masa kini; yang di usianya yang merangkak senja masih memiliki idealiseme trasformatif sekaligus menerapkannya. Rasa bangga dan hormat, saya berikan kepada Pastor Neles Tebay Pr dan Pastor John Djonga Pr, yang telah bekerja melampaui tugas-tugas mereka.
Sekian
Arso 2, 19 April 2013; 15.30 WIT
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI