Mohon tunggu...
Aam Permana S
Aam Permana S Mohon Tunggu... Freelancer - ihtiar tetap eksis

Mengalir, semuanya mengalir saja; patanjala

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Saya Bangga Pernah Jadi Wartawan (1)

14 Agustus 2021   13:40 Diperbarui: 14 Agustus 2021   13:45 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

AWAL Tahun 1999, saya  mengikuti tes masuk ke HU Pikiran Rakyat Bandung, koran  ( yang waktu itu hingga 20000-an) terbesar di Jawa Barat. Test dilakukan dua hari.

Untuk hari pertama, test saya ikuti dengan lancar. Saya yakin seratus persen bisa melaluinya dengan sukses. Pengetahuan umum dan pengetahuan soal jurnalistik, rasanya bukan hal yang sulit bagi saya. Khusus untuk  jurnalistik, walaupun saya bukan lulusan jurnalistik, tapi saya lama menggelutinya. Saya pernah menjadi wartawan Mingguan Mandala (sebelum "diambil" Kompas) dan menjadi penulis di Koran Sunda Galura (masuh Grup Pikiran Rakyat).

Namun untuk test hari kedua, saya pesimistis bisa melaluinya dengan manis. Test hari kedua adalah test bahasa Inggris, menulis dan mendengarkan. Apakah saya akan mampu? Terus terang, kemampuan bahasa Inggris saya jelek, walau sempat kursus dan kadang membaca koran berbahasa Inggris.

Ketika kuliah di STKIP (Unsap Sumedang) Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, saya juga mengikuti kuliah Bahasa Inggris. Tapi ya begitulah, saya tetap merasa kurang.

Merasa tidak akan mampu, di malam sebelum test, saya sempat bilang ke istri, tidak akan melanjutkan test. Percuma. Tidak akan mampu. Hal itu dikatakan lagi ke istri, di pagi hari usai solat Subuh.

Istri saya sepertinya memahami  sikap saya. Ia tahu, kemampuan saya dalam berbahasa Inggris, terbilang kurang.

Tapi di saat saya benar-benar tidak akan melanjutkan test, istri saya mendekat. Ia memberi semangat dan meminta saya mencoba. "Coba saja, Kang. Jangan belum apa-apa sudah menyerah. Siapa tahu ada peserta test yang lebih buruk dari akang," demikian kata istri saya waktu itu.

"Lagi pula, bukankah menjadi wartawan Pikiran Rakyat impian akang selama ini?" kata istri saya lagi.

Saya terhenyak. Sempat tidak akan mendengarkan "obor" dari istri. Tapi akhirnya saya mengangguk. "Ya, ya,kenapa menyerah sebelum perang?"

Saya segera mandi. Beberapa menit kemudian meluncur ke Kantor Pikiran Rakyat di Jalan Soekarno-Hatta, Bandung, dan mengikuti test Bahasa Inggris tersebut. Semua kemampuan saya keluarkan. Saya juga konsentrasi penuh mengikutinya. Namun demikian, rasa tidak percaya diri tetap  mengisi relung kalbu.

Pikirku, walaupun tidak lolos, saya masih tetap bisa menulis untuk HU Pikiran Rakyat, khususnya PR Minggu. Selama ini, ketika saya di Galura, sering menulis untuk PR Minggu yang waktu itu digawangi Ceu Aam Amilia dan Kang Wan Abbas. Walaupun tidak jadi karyawan, saya masih bisa mendapatkan honor dari PR yang cukup menggiurkan dengan menulis.

Oh ya sekedar catatan, tahun 90-an, PR Minggu telah menjadi tempat menulis para penulis muda berbakat . Redaksi PR juga jadi tempat silaturahmi penulis. Berkat PR Minggu juga saya bisa kenal dengan Hermawan Aksan, Obsatar Sinaga, Sudrajat, Beni Budiman (almarhum), Hariyawan (almarhum), dan beberapa yang lainnya.

Saya juga belajar dari mereka, terutama dari Hermawan Aksan yang waktu itu pun sudah menerbitkan buku cerita anak. Hermawan bahkan pernah datang ke rumah saya di Tanjungsari, Sumedang, Jawa Barat, sambil membawa dua buku ceritanya.

Sayang, walaupun terus belajar, saya tidak bisa seperti Hermawan Aksan. Sampai saya berhenti jadi wartawan. Hehe.

Kembali ke persoalan test, apakah saya lulus?

Di luar dugaan, ketika hasil test dibuka beberapa hari kemudian, saya dinyatakan lulus. Peserta tes saat itu, kalau tidak salah lebih dari seratus orang. Sedangkan yang lolos, hanya 13 orang, termasuk saya. Rekan saya di Galura, Nanang Supriatna yang juga ikut test, bernasib kurang baik; tidak lolos.

Pemred Galura saat itu, Kang Us Tiarsa terlihat kaget mengetahui saya lolos seleksi. Ia mengira, yang akan lulus Nanang Supriatna karena memang Nanang sangat layak masuk PR. Dia lulusan UNS Solo; cerdas pula. Tapi Nanang, sekarang jadi Wapemred di Galura.

Rekan yang lolos semua masih saya ingat. Di antaranya Erwin Kustiman, Irwan Nasir, Nuryaman, Dodo Rihanto, Yedi Supriadi, Abdul Rohim (almarhum, pernah jadi Pemred Fajar Banten), Adang Jukardi, dan Irfan Suryadirja.

Bagaimana selanjutnya? Cerita soal itu, akan saya tulis di tulisan selanjutnya ya. Mudah-mudahan pembaca Kompasiana, berbaik hati mau membaca catatan saya tentang pengalaman menjadi wartawan HU Pikiran Rakyat dan tetek bengeknya, hingga saya pensiun dini tahun 2012.  Cag!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun