Mohon tunggu...
Aam Permana S
Aam Permana S Mohon Tunggu... Freelancer - ihtiar tetap eksis

Mengalir, semuanya mengalir saja; patanjala

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Ini Kata Agun Soal Masa Jabatan Wakil Presiden

27 Juli 2018   22:46 Diperbarui: 27 Juli 2018   23:10 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia adalah  negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang berupaya menegakan supremasi hukum untuk kebenaran dan keadilan, dan tidak ada kekuasaan yg tidak dipertanggung jawabkan  (akuntabel),  baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

"Dengan demikian, mekanisme "Checks and balances" dapat berjalan dan terukur,"  kata Agun Gunandjar Sudarsa mantan anggota PAH III dan PAH I BP MPR RI tahun 1999-2002, yang saat ini  menjadi anggota Komisi XI DPR RI, Jum'at (27/7).

Dikatakan ,  Indonesia sebagai negara hukum dapat  dilihat dari rumusan pasal 1 ayat (2), di mana kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD, bukan oleh lembaga MPR. Artinya kedaulatan tersebut dilaksanakan berdasarkan hukum atau menurut aturan-aturan dalam UUD.

Jadi yang suprem adalah hukum, bukan MPR. Mengapa? Karena UUD adalah hukum tertulis yang tertinggi. Dia adalah pucuk dan puncak pengaturan yang harus dijaga dan ditegakkan (suprem), dipatuhi dan ditaati (due process),  serta tidak membedakan (equality). Dengan demikian, kehidupan kenegaraan kita menjadi semakin terukur dan bermartabat.

Menurut Agun, untuk menjamin tegaknya supremasi hukum (konstitusi) tersebut, UUD 1945 memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dirumuskan dalam pasal 24 C yang berwenang salah satunya menguji UU thd UUD 1945, yg putusannya bersifat final dan mengikat.

"Namun demikian, MK dalam menjalankan kewenangannya tetap diwajibkan tunduk, patuh dan mengikatkan diri kepada supremasi hukum (k onstitusi). Karena yg suprem itu UUD 1945 bukan lembaga MK, sehingga tpara hakim MK  tidak dibenarkan membuat penafsiran bebas atas subtansi pasal pasal UUD 1945," ungkapnya.

Dijelaskan, lembaga MK dan para hakim sepatutnya tetap berpegang pada pasal-pasal dalam UUD 1945, khususnya dalam menguji pasal 7 UUD 1945 terkait Presiden dan wakilnya.  Sebelum perubahan, rumusannya berbunyi:  Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.  Lalu diubah menjadi : Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.

Untuk mendalami aturan pasal 7 yang sudah berubah tersebut, Agun mengaku telah mengkajinya berkali-kali dan membaca buku Risalah Perubahan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,  tahun sidang 1999 yang diterbitkan sekretariat Jenderal MPR RI Tahun 2008. "Saat itu, saya sebagai salah seorang anggota tim penyusunnya, " ujarnya.

Hasil telaahan kembali diperoleh kejelasan  bahwa yang dimaksud oleh rumusan pasal 7 tersebut harus dimaknai baik berturut-turut maupun tidak, baik Presiden maupun wakil presiden, dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk sekali masa jabatan saja.

Artinya hanya 2 kali, berturut-turut atapun  tidak berturut turut. "Dalam risalah rapat  tim perumus PAH III BP MPR tanggal 9 Oktober, 10 Oktober 1999, jelas sekali pemaknaan yang dimaksud pasal 7 tersebut," katanya.

Dalam risalah tersebut tergambarkan pikiran-pikiran argumentatif tentang berturut turut, cukup sepuluh tahun, sampai ada pemikiran ke arah setelah 2 masa jabatan untuk diperkenankan kembali dengan alasan tertentu.  Namun pada akhirnya, pikiran tersebut ditarik karena tim menerima usulan alternatif pertama yang rumusannya berasal  dari Tap MPR No XIII tahun 1998. Yakni "Presiden dan wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan."

Agung menjelaskan,  pembahasan selanjutnya berlanjut di Pleno Pah III, Pleno Badan Pekerja, hingga pelaksaaan Sidang Umum MPR tahun 1999 yang berlangsung dari 14-21 oktober 1999. Materi perubahan UUD 1945 dibahas di Komisi C MPR dan semua rancangan perubahan pertama UUD 1945, termasuk perubahan pasal 7 dapat disetujui untuk disyahkan tanpa melalui pemungutan suara.

"Hal di atas semoga dapat memberikan pencerahan bagi semuanya, karena persyaratan negarawan di konstitusi kita hanya ada bagi persyaratan hakim MK semata. Proses hukum harus dihargai, hak warga negara juga harus tetap dibuka, namun Supremasi Hukum (UUD 1945) tetap di atas segalanya,"  pungkas Agun.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun