Mohon tunggu...
Dewi Equino
Dewi Equino Mohon Tunggu... Jurnalis -

Jangan ragu di jalan yang benar. Mundur mati kafir

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Infantilisme Kubu Hatta Rajasa Pasca Kongres PAN Bali

3 Mei 2015   10:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:26 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14306229781510511465

[caption id="attachment_414586" align="aligncenter" width="601" caption="Infantilisme Kubu Hatta Rajasa Pasca Kongres PAN Bali (foto : tribun news)"][/caption]

Kekalahan dalam berpolitik, adalah universitas mental yang baik untuk menyekolahkan mental para politisi. Bukan sebaliknya, kekalahan politik menjadi biang degradasi mental politik. Dus mental politik yang mudah tererosi akibat kekalahan, menghasilkan politisi yang infantilis, atau kekanak-kanakan dalam menyikapi kekalahan. Lalu dengannya mencari berupa-rupa kompensasi, Misalnya membentuk ormas baru sebagai embrio partai politik. Naasnya, bila isu pembentukan ormas, cuma alat mengatrol bargaining dengan pihak yang menang dalam per-CATUR-an politik.

Pasca Kongres PAN di Bali dan Zulkifli Hasan pempecundangi Hatta Rajasa dalam pemilihan ketua umum PAN, kubu Hatta kesannya tak terima kekalahan itu. Meski Zulkifli Hasan mengajak rekonsiliasi pasca kongres, kubu Hatta tetap keukeuh berada di luar struktur DPP PAN dan menjadi kelompok oposan.

Disaat yang sama, isu pembentukan ormas baru, mendidih tak karuan pasca kongres PAN. Sesekali isu itu kencang menjelang pembentukan pengurus DPP PAN di bawah kepemimpinan Zulkifli Hasan dan kali ini menjelang pelantikan pengurus DPP PAN. Isu ormas baru ini seperti nyamuk malaria yang muncul di watu-waktu tertentu saja.

Belakangan isu pembentukan ormas baru ini kencang menjelang pelantikan pengurus DPP PAN pada 06 Mei 2015 di Jakarta. Melalui loyalis Hatta Tajtur Sapto Edi, isu pembentukan ormas baru itu digulirkan ke media. Mantan ketua Fraksi PAN itu mengatakan, ormas baru adalah tempat menghimpun pendukung Hatta yang kecewa dengan kekalahan Hatta di Kongres Bali. Intinya, ormas baru bernama Harapan Rakyat (HR) atau akronim dari singkatan nama Hatta Rajasa (HR) ini adalah ormas untuk mengumpul barisan politisi galau pasca kongres PAN di Bali.

Tentu kita miris melihat loyalis Hatta yang kerap nyinyir di media. Isu pembentukan ormas baru yang juga embrio partai politik adalah pikiran yang belum matang. Apalagi pembentukan ormas itu teramat Hatta sentris. Keinginan loyalis Hatta membentuk partai baru melalui ormas Harapan Rakyat (HR) adalah rencana menambah daftar panjang “partai berumur pendek” seperti yang sudah-sudah. Kasarnya; ormas baru bikinan loyalis Hatta, adalah sebuah kerumunan orang yang sedang mencari kompensasi setelah terdegradasi dalam sebuah pertarungan politik.

Mungkin saja para loyalis Hatta ini bermimpi, bahwa kualitas politik Hatta sebaris dengan tokoh ormas kawakan seperti Surya Paloh (Bos Media Group) dan Hary Tanoesoedibjo (bos MNC Group). Di bandingkan dengan dua raja media ini, Hatta bukanlah siapa-siapa. Kedua raja media ini punya social capital yang kuat. Di bandingkan dengan Hatta; yang selama berkuasa, tak berakar dan asik dengan kekuasaan.

Apalagi Hatta bukan tipe politisi yang royal untuk memuluskan kepentingannya. Berbeda dengan Paloh dan Hary Tanoe yang rela merogok kocek ratusan miliar bahkan triliun untuk belanja politiknya. Apalagi mengukur Hatta bukanlah barang sulit, cukup melihat daya elektabilitasnya pada pilpres 2014. Pada Pilpres 2014 elektabilitas Hatta tak terlihat, faktor Prabowo lah yang paling kuat mengatrol perolehan suara pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta.

Dengan demikian, rencana pembentukan ormas HR ini bisa ditakar seberapa panjang nafasnya. Beberapa minggu ini (April 2015), loyalis Hatta Catur Sapto Edi begitu heboh di media; mengakabarkan pembentukan ormas baru. Tjatur menganggap, statemen-statemennya di media punya fibrasi politik yang kuat. Namun sayangnya, Aggota DPR tiga periode ini tak mengukur seberapa besar statemennya itu punya daya politik.

Buktinya, mayoritas kader PAN menganggap, cara Tjatur itu lagu lama; cara bargaining yang bisa di takar. Tjatur sedang mengukur baju politiknya, tapi sayang, baju yang digunakannya rombeng dan barang murahan. Alih-alih mengajak kompromi Tjatur, kubu Zulkifli Hasan malah menganggap Tjatur igau di siang bolong. Sikap loyalis Hatta ditanggapi sebagai bentuk infantilisme berpolitik. []

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun